KlikFakta.com, JEPARA – Permasalahan kesehatan mental terutama bagi ibu rumah tangga di desa semakin kompleks. Salah satunya mengenai kestabilan emosi yang akan berpengaruh pada pola asuh anak.
Syuri Permana Putri, psikolog di Desa Bugo, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara adalah salah satu psikolog yang menaruh perhatian pada isu tersebut.
Psikolog yang akrab disapa Syuri ini merintis layanan psikologi bagi anak, keluarga, maupun remaja.
Ia menyayangkan betapa minimnya layanan psikologi terutama di desa-desa. Tak hanya itu, saat ini masih ada PR terkait edukasi kesehatan mental terutama bagi ibu rumah tangga.
Promosi Diri
Syuri menyebut tidak stabilnya emosi jadi salah satu bentuk masalah kesehatan mental bagi ibu rumah tangga. Ini akibat beban aktivitas domestik yang kadang terlalu besar.
Selain beban domestik, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga bisa memicu stres bahkan depresi.
Mendapati komplesknya permasalahan mereka, Syuri berusaha mempromosikan diri sebagai tempat nyaman bagi ibu rumah tangga yang membutuhkan konseling.
Ia juga kerap memberikan edukasi dalam perkumpulan rutin atau saat membantu tetangga yang punya acara.
“Biasanya kalau kumpulan dan rewangan (gotong royong) banyak yang curhat mengenai keluarga,” kata Syuri.
“Kadang saya selipkan edukasi-edukasi kalau memang butuh penanganan lebih lanjut bisa datang ke saya, atau kalau memang sungkan dengan bisa ke psikolog lain,” sambungnya.
Pentingnya Layanan Psikologi di Puskesmas
Banyak ibu rumah tangga dengan masalah kesehatan mental yang tak terdeteksi. Kurangnya fasilitas kesehatan hingga minimnya pengetahuan tentang isu ini membuat mereka sering kali menghadapi stres sendirian.
Karena itu, “saya harap puskesmas ada poli psikologinya. Kemudian kalau memang tidak bisa, dapat kerjasama dengan pihak lain,” harap Syuri.
Menyadur dari ugm.ac.id, tingginya penderita gangguan kesehatan mental yang jomplang dengan ketersediaan fasilitas kesehatan menyebabkan treatment gap atau kesenjangan pelayanan kesehatan mental.
Untuk menangani permasalahan tersebut, maka layanan kesehatan mental perlu ada di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Hal ini untuk menjamin terjangkaunya fasilitas kesehatan bagi ibu rumah tangga.
Syuri yang juga menjadi guru bimbingan konseling di SMK Al Hikmah Welahan tersebut berkaca pada beberapa daerah yang menempatkan psikolog di setiap puskesmas. Salah satunya di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY).
Tantangan terhadap Pola Pikir Masyarakat Desa
Syuri menjelaskan ada beberapa tantangan dalam mengenalkan kesehatan mental kepada masyarakat. Di antaranya masih suburnya pemikiran kolot masyarakat.
“Kalau di sini tantangan terbesar saya adalah dengan pemikiran-pemikiran kolot yang masih percaya dengan mitos,” ungkap Syuri.
Contohnya adalah keyakinan bila anak sering sakit-sakitan akibat keberatan nama (kabotan jeneng). Sehingga nama anak itu harus diubah.
Tantangan lainnya adalah kenyataan ia merupakan pendatang baru dari kota lain dan kesibukan mengurus buah hatinya.
Saat ini ia terus berusaha menjalin relasi dengan beberapa pihak agar dapat memberikan edukasi pentingnya kesehatan mental di desa.
“Kalau secara teori untuk meningkatkan kepedulian tentang kesehatan mental itu terjun ke forum edukasi, cuman dalam praktiknya memang sulit,” jelas Syuri.
“Harus melibatkan stakeholder di desa-desa yang harus ada program program khusus. Biasanya itu sulit buat nembus,” sambungnya.
Dukungan dari Pasangan
Syuri menuturkan, dukungan dari pasangan sangat penting untuk mencegah gangguan mental bagi ibu rumah tangga.
Mengurus perkara rumah tangga, mengurus anak dan suami tentu memberi beban fisik dan mental bagi ibu.
“Jadi kalau ada perempuan yang terbebani, pasangan harus bisa memahami,” jelasnya.
Ia menekankan komunikasi perlu untuk memahami kebutuhan dan keinginan masing-masing.
Karena itu, edukasi perihal rumah tangga sudah seharusnya melibatkan suami. Pasalnya, istri bukan satu-satunya yang menanggung kehidupan rumah tangga.
Selain itu, pasangan berperan penting memberikan support ketika ibu-ibu merasa down lantaran orang lain sering membanding-bandingkan kesuksesan anak mereka.
Ucapan membandingkan hingga menyudutkan sering terlontar dalam pergaulan ibu-ibu. Sebabnya, pasangan harus bisa mendampingi agar mereka tidak larut dan terpengaruh.
“Kita harus membentengi diri dulu. Ya, kita mampunya segini, gausah lihat tetangga,” ungkapnya.
Penulis: Nur Ithrotul Fadhilah
Editor: Melina Nurul Khofifah