Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Masalah Perkawinan Anak di Jepara Perlu Penanganan Satgas Khusus

KlikFakta.com, JEPARA – Perkawinan usia anak menjadi salah satu penyumbang masalah stunting, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perceraian, dan kemiskinan baru. Hal tersebut menjadi masalah serius dan mendesak agar semua pihak ikut serta dengan pembentukan Satuan tugas (Satgas) pencegahan pernikahan anak.

Data Pengadilan Agama (PA) Jepara menyebut di tahun 2021 ada 509 permohonan dispensasi nikah dan di 2022 ada sebanyak 482 permohonan dispensasi nikah. Di tahun 2021 PA Jepara mengabulkan 63,7 persen permohonan dispensasi.

Mirisnya, 40,7 persen anak yang mengajukan dispensasi nikah karena sudah hamil duluan. Kemudian 40,2 persen menyebut karena takut melakukan perzinahan. Kemudian 11 persen sebab sudah menghamili sisanya 7 persen sudah melakukan hubungan seksual tapi belum hamil.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Unisnu Jepara Mayadina menyayangkan kurangnya atensi dan keseriusan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dalam pencegahan pernikahan usia anak.

“Pemkab kurang tegas di dalam menyelesaikan pencegahan kawin anak. Dia (Pemkab Jepara) itu kurang serius. Kalau dia serius mestinya dia juga bisa bikin semacam satgas seperti stunting,” katanya.

Ia menyebut, masalah perkawinan usia anak merupakan permasalahan lintas sektoral sehingga tak hanya jadi wewenang Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).

“Karena lintas tidak mungkin hanya sekedar kewenangan DP3AP2KB harus di atas dia levelnya bisa sekda yang bisa berkoordinasi dan berkomunikasi,” jelasnya.

“Kawin anak padahal yang menyumbang adanya stunting, KDRT, perceraian, kemiskinan baru,” lanjutnya.

Tidak harus berbentuk Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD), lanjut Maya, namun satgas tersebut bisa dalam bentuk forum lintas pihak yang mengawal kasus permasalahan kawin anak.

“Pemerintah seharusnya menganggap ini sebagai persoalan penting dan prioritas apalagi dikaitkan dengan Indonesia emas 2045,” ujarnya.

Ia menambahkan, Pemkab Jepara semestinya melakukan intervensi dengan memastikan ada kebijakan tegas terkait pencegahan kawin anak serta struktur pelaksana lintas sektor yang jelas untuk memastikan anak-anak tidak melakukan kawin anak

“Urusan kawin anak tidak bisa dilimpahkan ke satu dinas saja, tetapi persoalan sistemik. Kalau bicara sistemik artinya yang bertanggungjawab banyak sektor mulai dari DP3AP2KB, Dinas Pendidikan, tenaga kerja, Dinsos, belum lagi pemerintah desa. Semuanya terkait,” ungkapnya.

“Saat ini yang koar-koar cuman dinas DP3AP2KB, sementara wajib belajaranya masih 9 tahun, artinya setelah smp tidak ada kewajiban sekolah sesuai dengan Perda,” lanjutnya.

Maya menyebut, pernah mendorong Pemerintah Desa untuk membuat Peraturan Desa (Perdes) pencegahan kawin anak.

“Jawabannya (kepala desa) kita tuh nunggu dari Pemda,” katanya.

Padahal, kata dia, tidak perlu menunggu adanya perda dahulu. Desa juga punya kewenangan untuk menyusun kebutuhan Perdesnya sendiri.

Baginya, mentalitas dari pihak pemerintah perlu dikritik karena masalah perkawinan anak tak bisa dianggap sepele.

“Pemerintah merasa kalau masalah perkawinan anak ini bukan prioritas dan urgent. Merasa bukan urusannya. Kaitannya padahal untuk perlindungan anak,” jelasnya.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *