“Jepara terkenal dengan kota ukir, kalau generasi muda tidak ada yang mau meneruskan, malah bisa jadi, besok Jepara tidak terkenal dengan kota ukir dan berpeluang punah,”
Muslimah (kartini ukir)
KlikFakta.com – Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, terkenal dengan sapaan kota ukir telah menghasilkan bermacam produk ukir yang siap melalang buana hingga ke mancanegara.
Tak hanya pengukir laki-laki, Jepara juga memiliki para kartini ukir yang andal. Jepara pun pernah memecahkan rekor MURI perempuan mengukir terbanyak di Indonesia. Tepatnya sebanyak 570 perempuan bergabung untuk memecahkan rekor pada Hari Kartini dan HUT ke-470 Kabupaten Jepara.
Mau mengingkari pun tak bisa. Memang sangat besar andil perempuan terhadap keberlangsungan ukir, mulai dari sisi sejarah hingga hasil produk yang ada. Namun, para kartini ukir masih menanti kesejahteraan yang belum seindah ukirannya.
Pada bagian pertama ini, akan ada kisah dari dua kartini ukir Jepara. Mereka membagikan kisah perjuangan hidup di antara masalah kesejahteraan yang menjerat dan pesan menyentuh bagi insan ukir Jepara.
Kisah Mereka para Kartini Ukir
Muslimah (36), ibu dua anak dari Desa Dongos, Kecamatan Kedung, Jepara mulai mengukir sejak tahun 2011. Awal mula belajar mengukir setelah lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Meski berpenghasilan hanya Rp 30.000 per hari, ia tetap menekuni karirnya. Sempat tergiur mencoba pekerjaan lain, ia akhirnya tetap memilih mengukir. Alasannya, bisa sembari mengasuh kedua anaknya.

“Saya dulu lulus SMA ya belajar mengukir. Waktu saya muda, dulu perempuan kalau tidak mengukir ya mengamplas. Karena mengamplas harus datang ke tempat meubelnya, makanya pada milih mengukir dapat dikerjakan di rumah,” kata Muslimah.
Baginya, mengukir merupakan pekerjaan yang fleksibel. Tak perlu terikat jam kerja kaku dan terpaku pada satu tempat.
Bisa menjaga anaknya hanya salah satu alasan. Di lain waktu, ia bisa ikut “rewang” alias membantu tetangganya yang sedang menggelar acara sehingga mampu menumbuhkan rasa solidaritas bertetangga.
“Sekarang yang mengukir jarang, Saya pikir gini, Jepara kan terkenal dengan kota ukir, kalau generasi muda tidak ada yang mau meneruskan, malah bisa jadi, besok Jepara tidak terkenal dengan kota ukir dan berpeluang punah,” kata Muslimah.
Ia menyayangkan pendapatan kecil serta tidak adanya jaminan kesejahteraan bagi para pengukir. Hal tersebut menjadi godaan hingga banyak yang tergiur untuk beralih ke pekerjaan lain.
Para pengukir yang bekerja mandiri pun kini berhadapan dengan industri garmen. Bak pisau bermata dua, industri garmen mampu menjamin kesejahteraan. Namun di lain sisi, garmen bisa menghilangkan jati diri ukir Jepara.
Baginya, ini secara tidak langsung menjadi sebuah penjajahan secara halus.
Bagi para kartini ini, mengukir adalah jati diri dan pandangan hidup yang tak akan luntur.
Begitupun bagi Senima (57), perempuan asal Desa Petekeyen, Kecamatan Tahunan, Jepara. Semangat mengukirnya tak lekang usia meski telah mengukir sejak puluhan tahun lalu.
Ia kini mengerjakan ukiran meja dengan upah Rp 2000 per buah. Terkadang ia mampu menyelesaikan 7 buah dengan upah kira-kira Rp 15.000.

Baginya mengukir tetap menjadi pilihan, karena ia harus mengurus cucu. Kali ini ia selalu menggarap motif yang sama dan menggambar sendiri dengan bantuan mal yang sudah ada.
Senima sedari kecil telah terbiasa mengukir dalam bentuk apapun. Sehingga sekarang, ukiran macam bagaimanapun tak menjadi masalah yang berarti. Baginya, yang terpenting ia dapat bertahan hidup untuk mengurus anak-anak.
“Kalau sekarang yang mengukir sudah tua, terus yang melanjutkan siapa? Sekarang pada tidak mau kalau diajarin mengukir,” katanya.
“Ini bisa jadi di masa depan tidak ada lagi yang mengukir, karena ya kalau mengukir di badan bisa membuat kotor kena debu. akhirnya pada milih ke tempat kerja yang bersih dengan gaji yang lebih baik,” sambung Senima.
Muslimah dan Senima hanya segelintir dari ratusan kartini ukir yang menanti kesejahteraan dan keberlangsungan ukir. Mereka dengan lapang dada menerima keadaan upah yang kurang memadai.
Ukir adalah jalan hidup. Begitulah ideologi mereka. Sebuah pandangan yang mampu memacu mereka tetap berkarya di tengah keterbatasan.
Namun pandangan ini tidak berlaku bagi semua orang. Terutama bagi kawula muda.
Keduanya pun memiliki kekhawatiran yang sama bagi ukir Jepara.
Siapa yang akan melanjutkan ukir Jepara?
Penulis: Nur Ithrotul Fadhilah
It also was prescribed outside the USA for those who were malnourished and bone health buy priligy generic
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.