Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Politik Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat

Oleh : Zakariya Anshori
Aktivis sekaligus pegiat media sosial

Pasal 27 ayat (1) Undang-undang dasar 1945 berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal ini menegaskan bahwa  semua warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Makna “Equality Before The Law” ditemukan di hampir semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.

Setiap aparat penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktek. Namun menegakkan “Equality Before The Law” bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis. Bahkan Dewi Themis, yang disimbolkan sebagai dewi keadilan yang mana mata dewi tersebut ditutup dengan kain, sehingga ia tidak dapat melihat yang berada didepannya, terkadang ‘mengintip’ siapa yang diadili. Dengan kondisi mata tetutup, Seharusnya hukum melihat tidak melihat subjek yang melanggar hukum tersebut.

Hukum itu Objektif. Semuanya mendapat perlakuan yang sama, tidak ada membeda-bedakan orang. Baik kaya maupun miskin, baik penguasa maupun rakyat biasa. Semua mendapat perlakuan yang sama

Salah satu asas hukum acara pidana, “Equality Before The Law” yang berarti mendapat perlakuan yang sama di muka hukum. Tetapi terkadang hukum itu berpihak. Jika ia adalah orang yang berkuasa, maka hukuman “dilewatkan” darinya. Jika ia adalah orang biasa-biasa saja dan cenderung lemah, maka hukum harus tetap ditegakkan.

Pedang Dewi Themis kadang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Mencermati pmberitaan yang diberitakan oleh Klik Fakta, Sabtu (11/7), tercium aroma politik hukum dalam menegakkan rasa keadilan masyarakat dalam sidang kasus pertambangan mineral dan batu bara yang diputus pada Rabu, 20 Maret 2019.

Dalam situs resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (sipp.pn-jepara.go.id) terdaftar nomer perkara : 232/Pid.Sus/2018/PN Jpa tertanggal Rabu, 28 Nopember 2018 yang mengadili terdakwa  Ahmad Santoso Bin Alm. Kasri Supeno dalam kasus tindak pidana penambangan batuan illegal, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Bab XIII pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang ketentuan pidana pelaku tindak pidana penambangan tanpa IUP, IPR dan’ atau IUPK menyebutkan bahwa pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Namun, Jaksa penuntut umum saat itu, Ditta Ardian, SH hanya menuntut perkara itu dengan tuntutan 1 (satu) bulan penjara dan denda Rp. 25.000.000, 00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah).
Setelah sidang dalam waktu 112 hari, pada Rabu 25 Maret 2019, majelis hakim yang diketuai Buyung Dwikora, SH dan beranggotakan Yunindro Fuji Arianto dan Demi Hadiantoro menyatakan bahwa terdakwa  Ahmad Santoso Bin Alm. Kasri Supeno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha penambangan tanpa IUP (Ijin Usaha Pertambangan), IPR (Ijin Pertambangan Rakyat), atau IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus)”.

Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa, dengan pidana penjara selama 25 (dua puluh lima) hari dan denda sejumlah Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Memang ada yang janggal dalam proses persidangan ini. Keputusan hakim tidak bisa diganggu gugat dan jaksa penuntut umum tidak melakukan banding. Kita harus menghormati keputusan hakim sebagai wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan.

Namun sebagai warga negara kita patut mempertanyakan rasa keadilan dalam masyarakat. Tuntutan Jaksa yang sangat ringan dan keputusan hakim yang lebih ringan dari tuntutan jaksa terjadi menjelang pemilhan petinggi 17 Oktober 2019. sehingga terlalu naïf untuk tidak mencermati putusan pengadilan tersebut. Wallahu A’lam.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *