KlikFakta.com, JEPARA – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan Amicus Curiae atas kasus yang menimpa aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan.
Peneliti ICJR, Nur Ansar mengemukakan, seharusnya Jaksa Penuntut Umum menggunakan ketentuan paling baru dalam UU No 1 tahun 2024, bukan menggunakan UU ITE tahun 2016.
“Rumusan pasal 28 ayat (2) telah diubah dan diperjelas mengenai frasa “antargolongan”. Dalam undang-undang baru ini, tidak ada lagi istilah SARA, melainkan disebutkan kelompok mana saja yang dimaksud dalam pasal. Selanjutnya, rumusan pasal 27 ayat (3) serta ancaman hukumannya juga berubah,” kata dia.
Ia menyebut, komentar Daniel tidak tepat dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok.
“Jika kita merujuk pada Pasal 28 ayat (2) yang baru, pasal ini dibuat untuk mencegah timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Jadi bukan soal pro dan kontra mengenai suatu pendapat,” ungkapnya.
Nur Ansar mengemukakan jika komentar Daniel tidak tepat dikenakan pasal pencemaran nama baik. Dalam Pasal 27 ayat (3), tuduhan yang dilakukan haruslah diniatkan untuk merendahkan martabat orang tertentu.
“Delik ini harus menyasar orang perorangan atau individu, bukan sekelompok orang atau badan hukum, sehingga harus jelas orang yang disasar. Daniel tidak menyasar orang-perorang sehingga tidak tepat mengenakan pasal tersebut,” ungkapnya.
Dirinya menambahkan, komentar Daniel mungkin dianggap keras, tetap hanyalah penilaian terhadap kondisi yang ada di sana.
“Idiom “otak udang”, bukan merupakan bentuk perbuatan tertentu, sehingga tidak tepat dikenakan pasal pencemaran sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 310 KUHP,” katanya.
Perkara ini memenuhi unsur Anti SLAPP, lanjut dia, yang melindungi setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dari gugatan atau laporan pidana.
“Laporan seperti ini sering disebut sebagai SLAPP, sehingga Pasal 66 menjadi perlindungan bagi pembela lingkungan atau ketentuan tentang Anti SLAPP (Startegic Lawsuit Againts Public Participation),” papar Nur.
“Jika bisa dibuktikan bahwa terdakwa melakukan perbuatannya karena berhubungan dengan pembelaan terhadap lingkungan, Hakim dapat memutus lepas. Kasus Daniel, menurut kami, memenuhi syarat dalam Perma ini,” sambungnya.
Ia menyebut, Daniel seharusnya diputus lepas atau bebas. Bagi ICJR, perkara ini sejak awal sudah tidak layak untuk ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
“Seharusnya, sejak di kepolisian, perkara ini sudah dihentikan. Atau, jaksa yang memiliki kewenangan untuk melimpahkan atau menghentikan proses penuntutan atau diskresi penuntutan sebagai dominus litis, seharusnya sudah menghentikan perkara ini berdasarkan kewenangannya,” kata dia.
Pihaknya berharap agar Majelis Hakim dapat mempertimbangkan secara hati-hati terkait fakta hukum serta ketentuan lain terkait kebebasan berpendapat serta pengaturan Anti SLAPP yang juga sudah diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2023.