Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Dandangan, Dulu, Kini dan Nanti

Andini Juliana Putri, Mahasiswa BKI IAIN Kudus

TRADISI Dandangan berasal dari Kudus. Asal usul dandangan dimulai dari zaman Wali Songo atau zaman Raden Ja’far Shodiq atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus. Jelang Ramadan di sekitar Masjid atau Menara Sunan Kudus, para pedagang berkumpul menjajakan dagangannya. Menurut para tokoh atau ulama tradisi dandangan ini memiliki asal usul yang nyata. Konon, dahulu sekitar tahun 450 masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Masjid “Al Aqsha” yang kini populer dengan sebutan Masjid “Menara” Kudus. 

Mereka menunggu pengumuman awal Ramadan Sunan Kudus. Setelah keputusan awal pos dikomunikasikan kepada Kanjeng Sunan Kudus, bar di Masjid Menara Kudus dibunyikan “dang-dang-dang”, begitu bunyinya. Dari suara gendang, keluarlah istilah tradisi dandangan kota Kudus. Tradisi dandangan kini dimulai 15 hari sebelum Ramadan tiba dan puncaknya satu hari sebelum puasa.

Biasanya di sekitar Menara Kudus sampai dengan Alun-Alun Simpang Tujuh hingga  Pasar Jember. Di sekitar sana, ketika malam mulai, ada pedagang yang menjajakan dagangannya. Dandangan dimulai dari pukul 16.30-23.00, pada saat itu masyarakat mulai berdatangan. Bukan hanya masyarakat Kudus yang datang ke dandangan, melainkan masyarakat dari luar Kudus seperti Demak, Jepara, Pati, dan lain sebagainya. 

Kini pergelaran tradisi dandangan kian ramai. Masyarakat dari luar Kudus ingin tahu seperti apa tradisi dandangan tersebut, karena dandangan di Kudus sangat ramai sehingga jalan di sekitar masjid menara  macet. Di dalam dandangan itu, selain menjual makanan atau pakaian, juga ada mainan khas dandangan,juga ada wahana permainan. 

Pegelaran dandangan juga kini menawarkan wahana permaianan. Contohnya rumah setan, tong setan, kurungan burung, memancing ikan kecil kecil dan sebagainya. Rumah setan adalah mainan yang sangat menakutkan. Dari suaranya seram, dari kejauhan tercium bau kemenyan. Jika kalian memiliki nyali besar, silakan mencobanya. 

Mereka yang pernah mengalaminya pasti tahu kengerian di dalam rumah setan itu. Setan-setan di dalam rumah setan suka mengejar orang yang masuk ke sana. Jika Anda masuk dengan teman-teman, itu akan menyenangkan. Tiketnya minimal 5000 sampai 7000. 

Gentong setan adalah sarana untuk menunjukkan sepeda motor yang berputar seperti gentong, tetapi dibuat dari tempat yang disusun tinggi hingga terlihat seperti gentong. Dari kejauhan terdengar suara yang sangat keras sehinggan menarik untuk enarik penonton yang ingin menontonnya. 

Mainan sarang burung adalah mainan yang berbentuk seperti lingkaran besar, naik turun. Di lingkaran itu terdapat sarang yang berbentuk seperti sarang burung dan disebut sarang burung walet karena bentuknya sama dengan sarang burung aslinya. Rasanya senang dan damai melihat pemandangan seperti itu. Selain ketiga alat permainan tersebut, masih banyak lagi,

 Selain mainan, dalam tradisi dandangan juga ada yng menjual mainan seperti gangsing,alat masak-masakan dan kapal yang berjalan dengan lilin. Permainan itu sampai sekarang masih banyak diminati oleh anak anak maupun remaja. Mainan masak-masakan biasanya terbuat dari tanah yang dibentuk menjadi alat masak masakan,biasanya banya diminati oleh anak kecil perempuan. Jika mainan kapal bagian dalamnya diterangi dengan lilin yang berukuran kecil agar kapal tersebut bisa berjalan memutar di dalam mangkuk yang telah di isi dengan air.

Seperti itulah karateristik dari tradisi dandangan di Kudus. Tak jauh beda dengan tradisi yang ada di Semarang. Jika di Semarang orang orang menyebutnya dengan dugderan, tapi tradisinya tak jauh beda dengan dandangan yang ada di Kudus.

Meski demikian, para pemangku kepentingan hingga pemerintah untuk menguatkan syiar Islam melalui tradisi dandangan yang dicontohkan Sunan Kudus sejak ratusan tahun silam. Diharapkan esensi tradisi dan esensi penyebaran Islam tetap terjaga, syukur-syukur tambah kuat. Hal ini agar generasi milenial tetap sadar esensi dandangan, bukan tersilaukan gemerlap aktivitas jual beli dan wahana permainan. Semoga.

Penulis: Andini Juliana Putri

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam, IAIN Kudus

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *