Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Menjaga NKRI, Berpaham Nasionalis Lokal

 Oleh: Miftahul Arifin*

Jiwa nasionalisme menjadi faktor penting menjaga keutuhan sebuah negara. Dari jiwa terwujud menjadi sikap memiliki untuk kemudian menjaga negara dari segala gangguan. Jiwa nasionalisme bagi bangsa Indonesia berarti ikut menjaga keutuhan Indonesia. Bangsa yang memiliki jiwa nasionalis mencegah ancaman terhadap negara, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mencegah gangguan dari luar tertanam kuat dalam diri bangsa Indonesia. Sejak kecil mereka telah dididik cinta tanah air melalui pengenalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1954 sebagai idiologi negara. Mereka telah mengenal dan melakukan upacara setiap senin lalu mengimbarkan bendera sambil hormat mengangkat tangan kanan.

Siapun, barangkali, jika menemui orang asing yang hendak menganggu keutuhan NKRI pastilah dibabat dan dilibas habis. Atau paling tidak kebencian mereka telah berkobar dari dalam diri bangsa Indonesia.

Sikap nasionalisme semacam ini menjadi cikal bakal persatuan untuk mengusir penjajah. Walau beda bahasa, ras dan suku, satu sama lain para pahlawan saling bekerja sama. Melalui perumusan idiologi negara, mereka kemudian berikrar bahwa bangsa Indonesia lahir dari perbedaan dan akan hidup berdampingan di bawah naungan NKRI. Kesadaran ini kemudian lebih kenal dengan sebuah semboyan, bahwa NKRI harga mati.

Pemahaman ini mestinya telah menjadi senjata paling ampuh untuk tak saling berseteru satu sama lain, baik karena ras, suku, maupun antar agama. Apalagi kita telah sama-sama mengakui bahwa diri ini lahir, hidup dan besar di Indonesia. Tapi nyatanya, pemahaman jiwa nasionalisme masih semu dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan masih kerap menjadi sumber konflik yang seolah tanpa ujung dan rutin terjadi dalam momen tertentu.

Kita masih selalu sibuk mempersoalkan apa yang menjadi keyakinan saudara setanah air sendiri. Pikiran yang seharusnya digunakan untuk maju mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi, malah disibukkan mengurus halal haram mengucap selamat natal. Kita masih sering berkutat pada perdebatan boleh tidaknya memakai atribut natal bagi umat islam dan hal remeh lain yang tak bersinggungan langusng dengan hajat bangsa dan kemanusiaan.

Di satu sisi, kita tentu juga sudah memahami bahwa negara ini bukan negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan pemerintahan. Tapi kita juga tidak bisa menolak bahwa agama adalah urusan privat masing-masing personal. Maka jalan tengah yang mustinya kita pegang ialah beragama dengan sikap yang mencerminkan nilai-nilai agama. Agama sebagai ibadah dan sesembahan kepada sang pencipta harus tetap menjadi ranah privat. Toh tidak ada doktrin agama dari semua agama di negara ini yang mengajarkan keburukan. Kalau pun ada, saya meyakini itu bukan agama tuhan. Tapi agama yang dibuat manusia kemudian disandarkan kepada tuhan.

Masalah demi masalah yang terus terjadi di masyarakat dan pemerintahan salah satunya bersumber dari sempitnya memahami nasionalisme. Jiwa nasionalisme hanya dimaknai pembelaan pada negara dari gangguan asing. Tak dipungkiri, jiwa nasionalis bangsa ini mungkin langsung bangkit seandainya Jepang dan Belanda tiba-tiba kembali menyerang dengan bedil dan senapan. Kita tidak akan lagi berpikir kristen, hindu, buda, suku dayak, suku batak, orang jawa, atau musuh bebuyutan di samping kita. Kita akan fokus bagaimana agar Jepang dan Belanda pergi sebagaimana sejarah perjuangan para pahlawan.

Sempitnya pemahaman nasionalis juga didukung adanya perbedaan kepentingan antar kelompok lalu mengabaikan kepetingan bersama: menjaga keutuhan dan kedamaian di bumi Indonesia. Terlebih, demi kepentingan kelompok rela mengorbankan kepentingan bersama. Penggunaan isu sara untuk menyerang calon lawan selalu menohok dalam setiap perhelatan pesta demokrasi (baca: pemilu).
Ini menunjukkan betapa pemikiran kerdil masih membelenggu aktor politik. Bukannya sibuk memperbaiki kualitas diri guna menarik perhatian masyarakat, justru memilih cara yang licik dan picik untuk menyerang lawan yang sejatinya adalah saudara sendiri. Kepentingan politik kemudian dibalut isu sara. Akibatnya, masalah semakin lebar dan menimbulkan masalah baru yang merugikan.  
Cara-cara licik semacam ini pernah digambarkan Rajkumar Hirani dalam film Three Idiots yang dirilis 2009 silam. Bahwa untuk dianggap baik dan pantas oleh orang lain tak harus menjadi baik dan berusaha jadi pantas. Namun, bisa cukup dengan membuat citra orang lain semakin buruk dan membuat kepantasan orang lain tak berguna. Raj mengemasnya dalam drama salah satu mahasiswa yang ingin dapat nilai tinggi tanpa belajar. Namun, dengan menyebar majalah porno pada kawan-kawanya untuk mengganggu konsentrasi belajar. Dalam dunia politik ini disebut dengan kampanye hitam (black campain) atau kampanye negatif (negative campain).

Cara tersebut dibolehkan oleh Macheavelli, salah satu tokoh filsafat yang hidup antara tahun 1469-1527 masehi. Ia menganggap sah dengan satu catatan, ketika kekuasaan telah diraih maka tujuan utama untuk kepentingan rakyat. Sayangnya, kebanyakan para elit bangsa bukan penganut Machiavelli. Karena yang terjadi, begitu mereka terpilih, tujuan kekuasaan tidak sepenuhnya untuk mesejahterakan rakyat. Kekuasaan hanya menjadi tunggangan memperkaya diri, sanak famili, dan partai politik

Kondisi ini terjadi di seluruh lapisan, mulai sekala lokal hingga nasional, menjadi sistem yang mau tidak mau harus disepakati dan dilakukan bersama-sama. Mereka bergerak satu komando sesuai mandat pimpinan tertinggi. Kepentingan yang diusung pun untuk mengakomodir kepentingan pusat dan kelompok dengan mengabaikan kepentingan tingkat bawah dan masyarakat secara umum. Akhirnya, satu sama lain saling tutup mulut untuk suatu masalah agar masalah sendiri juga terkunci rapat rapat.

Penangan kasus di ranah hukum bukan karena kesalahan sehingga pantas dihukum. Tetapi karena satu kelompok atau personal dianggap menjilat dan mengancam kelompok lain. Makanya, kita tidak jarang dipertontonkan kasus hukum sebagai kasus kriminalisasi. Yang banyak melanggar hukum dihukum ringan bahkan tidak diusut. Sementara yang tidak bersalah dicari-cari celah dan kesalahannya agar terjerat kasus hukum. Kasus korupsi Dahlan Iskan dan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kental nuansa politis demi kekuasaan dan ketamakan.
   
Nasionalisme Lokal

Pada titik ini jiwa nasionalisme menimbulkan tanda-tanya besar. Tindakan menjaga tanah air yang terwujud laku sehari-hari berdasarkan makna sempit dan cenderung salah kaprah. Nasionalisme hanya tertambat di jiwa tapi minus dalam laku keseharian.

Inilah yang saya maksud pentingnya pemahaman nasionalis yang lebih luas atau yang saya sebut dengan nasionalisme lokal. Jiwa dan tindakan mencintai tanah air bukan sekadar melindungi negara dari gangguan asing. Tetapi lebih pada sikap personal untuk melaksanakan tanggung jawab sesuai peran.

Nasionalisme lokal menjaga keutuhan NKRI lewat pendidikan bagi tenaga kependidikan, nasionalime lokal umat beragama saling menghormati dan menghargai antar umat begarama ketika hidup berdampingan, dan nasionalisme lokal pejabat publik menjalankan tugas dan memberi pelayanan yang optimal bagi masyarakat. Sementara, nasionalime elit partai mengedukasi masyarakat dengan pendidikan politik yang arif tanpa kebohongan. Inilah esensi nasionalime dan sikap gotong royong membangun bangsa dan peradaban.

*Miftahul Arifin, Pembina Komunitas Mahasiswa Madura (KOMMA) Semarang. Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep Madura.  

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *