Tinggal menghitung hari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 dihelat termasuk di Jepara. Pesta demokrasi yang digadang-gadang bisa memperbaiki Jepara selama lima tahun ini akan penuh dengan pertaruhan. Kualitas Pilkada ditentukan oleh masyarakat, penyelenggara Pilkada, dan pasangan calon.
Masyarakat Jepara tentu sangat berharap pemimpin terpilih bisa menjadikan Jepara lebih maju atau paling tidak terbebas dari belenggu masalah yang selama ini mereka hadapi. Katakanlah masalah kesejahteraan guru honorer yang masih terkatung-katung, pelayanan kesehatan yang masih sering dikeluhkan, atau menurunnya industri mebel karena gempuran pabrik di berbagai tempat dan ketimpangan sosial lainnya.
Masalah ini tersebut sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang tak kunjung bisa teratasi. Jika masalah ini dikaitkan dengan Pilkada dan perjalanan kepemimpinan selama lima tahun terakhir, masyarakat tanpaknya sedikit kurang gairah. Pasalnya, pesta demokrasi yang akan berlangsung pada 15 Februari 2017 akan lebih nampak seperti seremonial lima tahunan. Pilkada harus dihelat karena kewajiban konstitusional. Sementara aktor yang digadang-gadang partai politik tak menjukkan kebaharuan.
Jika boleh memilih tak dilaksanakan mungkin masyarakat lebih memilih Pilkada tak harus dilaksanakan. Karena dari pada menghamburkan anggaran, lebih baik anggaran Pilkada yang berasal dari kas daerah itu lebih baik jika digunakan untuk pembangunan. Toh, ada atau tidaknya Pilkada yang akan memimpin Jepara itu-itu saja.
Itulah sebabnya (ketika kita ingat), pasangan Syamsul-Mayadina, meski dengan sisa waktu yang hanya sebentar mengumpulkan persyaratan masih optimis bisa lolos lewat jalur independen. Sebagai seorang pengusaha sekaligus bagian orang terdekat mantan pemimpin di Jepara, Syamsul-Mayadina seperti yang sempat disampaikan ke awak media pada waktu itu, tampaknya tidak menaruh kepercayaan kepada dua calon dari petahana. Dia pun rela mencurahkan tenaga, pikiran dan materi agar bisa maju dan bersaing meski pengalamannya di dunia politik masih seumur jagung.
Ketidak percayaan Syamsul terhadap dua calon kemudian ramai-ramai diikuti puluhan ribu warga Jepara. Melalui timnya, Syamsul pun bisa meraup dukungan melalui pengumpulan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 80 ribu lebih. Walau pun pada akhirnya Syamsul harus menerima kenyataan tak bisa mencalonkan diri. Kesempatan memilih dirinya di bilik suara pun haruslah kandas. Dengan sangat terpaksa dan Mayadina harus memilih diantara dua calon yang gagal menjadi rivalnya.
Jika memang benar ada pihak yang tidak menaruh kepercayaan pada calon yang ada saat ini, lantas apakah masih bersedia untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menyalurkan hak suaranya? Ini menjadi pertanyaan besar dan sekaligus menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara Pilkada. Sebab, disadari atau tidak, kepercayaan pada wajah baru karena berbagai alasan termasuk bosan dengan wajah lama berpotensi menjadi pemilih tanpa suara alias golput.
Di satu sisi, analisis ini cukup dangkal. Analisis hanya berasal dari satu sampel yang kemudian ditarik menjadi gambaran umum. Penulis meninggalkan pola pikir masyarakat terhadap kegiatan politik. Bahwa, sukar bagi pemilih untuk golput selama ongkos datang ke bilik suara ditanggung oleh calon. Politik uang masih menjadi bagian dari momen politik yang sulit dihindari. Sulit juga ditinggalkan oleh aktor politik yang haus kekuasaan dengan label kesejahteraan.
Fenomena ini bisa dilihat saat pelaksaan Pemilihan Kepala Desa (Pilakdes) November 2016 lalu. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara boleh bangga karena partisipasi pemilih di atas 80 persen dari keseluruhan masyarakat Jepara yang sudah punya hak pilih. Namun, di satu sisi perlu diakui bahwa pesta demokari tingkat desa itu tak lepas dari politik uang. Ada ongkos yang harus dibayar ketika masyarakat harus datang ke TPS untuk sekedar melakukan “ritual” sederhana berupa pencoblosan.
Pada situasi ini tentu ada pertaruhan besar, baik bagi penyelenggara Pilkada maupun para calon. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya menyelenggarakan Pilkada. Sedangkan Panitia Pengawas (panwas) dituntut tegas menangani pelanggaran Pilkada khususnya terkait politik uang. Sedangkan para calon harus berani kalah dan menyerahkan kemenangan pada nasib. Beranikah?
Waktu yang akan menjawab. Masyarakat tak datang ke bilik suara karena tidak menaruh kepercayaan sehingga partisipasi pemilih rendah atau para calon memaksanya datang ke TPS karena ada ongkos pergi dan pulang. Kita akan menyaksikannya pada 15 Februari 2017 mendatang. Kita tunggu juga keberanian panwas!
Redaksi