Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

LISAN YANG MEMANASKAN JALANAN

Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I., C.P.S.

Demonstrasi di Jakarta saat ini bukan hanya disebabkan oleh isu politik, ekonomi, atau kebijakan yang kontroversi. Faktor komunikasi publik, khususnya public speaking berperan penting dalam memicu maupun meredakan gejolak massa. Cara anggota dewan, pejabat, aparat, dan siapa pun dalam menyampaikan pesan dapat menentukan apakah publik merasa didengarkan, dihargai, dan dilibatkan; atau justru merasa diabaikan, dipermainkan, bahkan diprovokasi.

Public Speaking sebagai Pemicu Konflik

Public speaking bukan sekadar seni berbicara, tetapi juga seni membangun makna dan kepercayaan. Kesalahan dalam pemilihan diksi, intonasi yang terkesan meremehkan, atau gaya komunikasi yang tidak empatik dapat memunculkan persepsi negatif.

Di ruang publik yang penuh dengan aktivitas media sosial, setiap kata pejabat bisa menjadi viral dalam hitungan detik. Ucapan yang tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat dapat menjadi bensin yang menyulut api demonstrasi. Misalnya, pernyataan aparat yang terdengar represif atau pejabat yang terkesan menyepelekan aspirasi rakyat akan semakin memperkuat sentimen publik untuk turun ke jalan.

Urgensi Public Speaking Bagi Semua Pihak

  1. Anggota Dewan perlu public speaking untuk mengartikulasikan aspirasi rakyat, bukan sekadar kepentingan politik. Kemampuan bicara yang terbuka, rasional, dan solutif akan mengurangi kesan bahwa mereka berjarak dengan rakyat.
  2. Aparat Keamanan membutuhkan public speaking yang menenangkan, humanis, dan komunikatif agar tidak dianggap represif. Komunikasi persuasif lebih efektif meredam massa dibandingkan tindakan fisik.
  3. Pejabat Pemerintah memerlukan public speaking strategis untuk menjelaskan kebijakan secara jernih. Masyarakat lebih mudah menerima kebijakan yang dijelaskan dengan bahasa sederhana, transparan, dan penuh empati.
  4. Masyarakat dan Aktivis juga membutuhkan public speaking yang sehat, agar protes disampaikan secara beradab, argumentatif, dan tidak menimbulkan provokasi berlebihan.

Solusi: Membangun Budaya Public Speaking yang Sehat

  • Pelatihan Komunikasi Publik Terstruktur bagi pejabat, aparat, dan anggota dewan sebagai bagian dari pengembangan kapasitas kelembagaan.
  • Etika Bicara di Ruang Publik sebagai standar moral: memilih kata yang tepat, menghindari ujaran merendahkan, dan mengutamakan sikap empatik.
  • Pemanfaatan Media Digital secara Bijak, termasuk konferensi pers, siaran langsung, dan unggahan media sosial yang dapat menjembatani jarak antara pemerintah dan rakyat.
  • Dialog Publik Terbuka, di mana public speaking dipakai sebagai jembatan, bukan sekadar instruksi satu arah, melainkan percakapan yang menghargai partisipasi masyarakat.

Demonstrasi di Jakarta menunjukkan bahwa problem bangsa bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal komunikasi. Public speaking yang buruk dapat menjadi pemantik konflik, sedangkan public speaking yang sehat mampu menjadi jembatan rekonsiliasi. Karena itu, keterampilan berbicara di depan publik harus dipandang sebagai kebutuhan strategis, bukan sekadar keterampilan tambahan. Dengan public speaking yang baik, pejabat, aparat, dan masyarakat dapat membangun komunikasi yang lebih sehat, sehingga gejolak dapat diredam dan demokrasi tetap berjalan dengan damai.

Penulis: Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I., C.P.S. (Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kudus)

Share: