Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Sastra Cyber dan Puisi Sebagai Perlawanan Lewat Kata

Sastra Cyber dan Puisi Sebagai Perlawanan Lewat Kata

 

Oleh: Ainun Naja

Perkembangan internet membawa perubahan signifikan bagi kehidupan, internet membuat orang menjadi semakin mudah dan sangat cepat dalam mengakses informasi bahkan bisa dalam hitungan detik. Menurut data Badan Pusat Statistik persentase penggunaan internet dalam rumah tangga yang mencapai angka 87,09 persen di tahun 2023. Kemudahan tersebut membuat orang-orang mengikuti berbagai hal dari situs internet. Internet berkembang sangat pesat hingga membawa sisi kehidupan baru didalam dunia digital. Perkembangan digital tidak bisa terhindarkan dari semua lini kehidupan, tak terkecuali dunia Sastra.

Sastra Cyber atau karya sastra yang beredar dan berkembang melalui media digital, telah menjadi fenomena penting dalam lanskap sastra Indonesia. Kemunculan platform digital seperti blog, media sosial, dan situs web komunitas sastra membuka ruang baru bagi penulis, pembaca, dan kritikus untuk berinteraksi secara langsung tanpa sekat geografis. Fenomena ini menawarkan potensi besar bagi pertumbuhan sastra di Indonesia, tetapi juga menghadirkan tantangan yang signifikan.

Sastra Cyber memungkinkan banyak suara baru bermunculan, termasuk mereka yang sebelumnya sulit mengakses ruang sastra tradisional seperti penerbitan buku atau majalah cetak. Penulis muda, bahkan pelajar, kini dapat mempublikasikan karya mereka secara mandiri di platform seperti Instagram, Wattpad, Twitter atau Medium. Hal ini tidak hanya memperluas ruang ekspresi, tetapi juga memperkaya keragaman tema dan gaya penulisan dalam sastra Indonesia.

Namun, aspek ini juga membawa dilema terkait kualitas. Ketika hampir semua orang dapat menjadi penulis, standar estetika dan nilai sastra sering kali diperdebatkan. Dengan mempublikasikan sebuah karyanya di internet, maka siapapun dapat membacanya dengan mudah. Sedangkan, tanggapan negatif yang didapat berupa alasan bahwa dalam Sastra Cyber tidak ada proses seleksi sehingga tidak jelas kualitasnya.

Meski begitu, Sastra Cyber telah menjadi ruang tersendiri dalam mempublikasikan sebuah karya. Diantara beragam jenis karya sastra, Puisi menjadi yang paling sering dijumpai di internet. Menurut H.B Jassin yang merupakan seorang penulis dan kritikus sastra, Puisi adalah suatu karya sastra yang diucapkan dengan perasaan dan memiliki gagasan atau pikiran serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu. Dalam KBBI, Puisi diartikan sebagai bentuk seni bahasa untuk merangkai kata-kata dengan kekuatan dan keindahan tertentu. Puisi tersusun atas gagasan yang dituangkan dalam bentuk kata-kata yang mempertimbangkan keindahan didalamnya, seperti diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi, tipografi, tema, perasaan, nada, dan amanat. Puisi mengandung seluruh unsur sastra di dalam penulisannya. Perkembangan dan perubahan bentuk dan isi pada puisi selalu mengikuti perkembangan seleraserta perubahan konsep estetika dan kemajuan intelektual manusia.

Sastra Cyber juga menjadi wadah penting untuk menyuarakan kritik sosial. Puisi-puisi yang membahas isu-isu seperti Feminisme, ketidakadilan sosial, hak asasi manusia, hingga krisis lingkungan menemukan pembacanya melalui media digital. Sekarang banyak penulis yang menggunakan kemampuan dalam menghasilkan karya sastra-nya sebagai bentuk perlawanan dan respon mereka terhadap berbagai isu dan masalah yang sedang terjadi.

Aya Canina, salah satu penulis puisi yang gencar membagikan tulisan-tulisan dan puisi-puisinya di platform Instagram dan Medium dalam menyuarakan isu-isu Feminisme. “Perempuan itu Dirajam dan Ia Tidak Mati” menjadi salah satu dari puisi Aya Canina yang membeberkan bagaimana negara belum benar-benar serius dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan seperti kasus-kasus kekerasan seksual dan lainnya. Begini bunyi penggalan puisinya, “…di kuali raksasa ini, perempuan adalah kentang rebus yang menunggu dikunyah pasal-pasal seksis”.

Namun, sastra cyber dan puisi sebagai perlawanan juga menghadapi tantangan. Salah satunya adalah risiko reduksi makna. Dalam upaya menjadi viral, banyak karya yang mengorbankan kedalaman untuk mengejar popularitas. Selain itu, ancaman plagiarisme dan kurangnya penghargaan terhadap hak cipta sering kali merugikan penulis asli.

Meski demikian, potensi puisi sebagai alat perlawanan tetap tidak terbantahkan. Dengan memanfaatkan kekuatan kata-kata dan daya jangkau dunia digital, puisi dapat terus menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan dan melawan ketidakadilan. Sastra cyber, dalam konteks ini, bukan sekadar medium baru, tetapi sebuah ruang perjuangan di mana kata-kata menjadi senjata, dan layar menjadi medan perlawanan.

Dalam dunia digital, menulis puisi bukan hanya soal estetika, tetapi juga melawan ketidakadilan, kebisuan, dan lupa. Sastra cyber adalah ruang baru, dan puisi tetap menjadi salah satu senjata paling tajam untuk membawa perubahan.


BIODATA SINGKAT PENULIS

Ainun Naja, Seorang yang senang menikmati puisi, Membaca dan Menulis puisi kemudian membagikannya di Instagram @ainunnaja.an . Sedang menempuh pendidikan di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Unisnu Jepara dan saat ini menjadi Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Fokus Periode 2024/2025.

 

Share: