Kabupaten Jepara adalah mozaik kontradiksi. Di satu sisi, ia dikenal sebagai pusat ukir kayu termasyhur di dunia, dengan karya seni yang menghiasi istana Qatar hingga hotel mewah di Paris. Di sisi lain, jalan-jalan di jantung kota dan pelosok desanya berlubang, menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Di balik gemerlap Karimunjawa yang menjadi destinasi wisata mahal, nelayan-nelayan tradisional bergulat dengan tangkapan ikan yang kian menipis. Di sini, di tanah yang melahirkan R.A. Kartini, Bupati dan Wakil Bupati terpilih 2024–2029 dihadapkan pada tugas titanis: memulihkan kepercayaan publik, membenahi infrastruktur, sekaligus mengembalikan Jepara sebagai raja mebel dunia.
Di salah satu Desa, turut wilayah Kecamatan Tahunan, suara mesin gergaji dan palu tukang kayu masih terdengar, tetapi ritmenya tak lagi seirama dulu. “Bengkel-bengkel” ukir yang dulu ramai oleh puluhan pekerja kini sepi. Di salah satu brak mebel, seorang pengrajin senior, duduk di tengah tumpukan kayu mahoni yang belum tersentuh. Matanya menatap lembaran faktur yang menunjukkan harga kayu melonjak diatas 30 persen dalam beberapa waktu terakhir.
“Dulu, satu bulan bisa menghasilkan 50 lemari pesanan ekspor. Sekarang, 10 pun susah,” keluhnya. Tangannya mengusap debu kayu yang menempel di meja kerja, sambil mengenang masa kejayaan tahun 2010-an, ketika truk-truk kontainer hilir-mudik mengangkut mebel ke Pelabuhan Tanjung Emas.
Tak jauh dari sana, Pedagang kayu seperti Bu Surti (52) hanya bisa duduk di depan kiosnya, menatap tumpukan barang yang tak kunjung laku. “Pembeli banyak yang beralih ke kayu pinus atau bahan sintetis. Kayu jati dan mahoni mahal, belum lagi izin tebangnya sulit,” ujarnya. Suara tawar-menawar yang dulu riuh kini berganti dengan bisikan keluh kesah.
Di Desa Bategede, turut wilayah Kecamatan Nalumsari, sekitar 20 kilometer dari pusat kota, Ibu Siti (45) memandang tumpukan kerupuk di gubuk kecilnya. Sejak jalan desa rusak parah, distributor enggan masuk ke kampungnya.
“Dulu, saya bisa menjual 100 bungkus sehari. Sekarang, stok menumpuk. Kalau hujan, jalan jadi kubangan. Motor pun susah lewat,” katanya sambil membersihkan tepung yang berceceran di lantai. Kisah Ibu Siti adalah potret ribuan UMKM Jepara yang terjebak dalam lingkaran keterbatasan akses dan literasi digital.
Di seberang laut, 83 kilometer dari Pelabuhan Jepara, gugusan pulau di Kecamatan Karimunjawa memancarkan pesona yang memikat. Pasir putih Pantai Tanjung Gelam berkilau diterpa matahari, sementara air lautnya yang jernih memamerkan terumbu karang warna-warni. Tapi di balik keindahan itu, tumpukan sampah menggunung di belakang homestay-homestay sederhana. “Setiap akhir pekan, sampah dari pengunjung membanjiri pantai.
Di Pulau lain, proyek pembangunan resor mewah telah mengubah wajah pesisir. Apalagi sejak isu limbah tambak udang yang sempat ramai diperbincangkan. “Dulu, di sini tempat kami mencari ikan. Sekarang, lautnya keruh, ikan-ikan menghilang,” protes salah seorang nelayan tradisional yang telah bertahun-tahun mengarungi perairan Karimunjawa.
Di beberapa titik jalan, lebih mirip medan perang. Lubang-lubang selebar satu meter menganga, dipenuhi air keruh saat hujan. Setiap hari, ratusan kendaraan—mulai dari sepeda motor hingga truk pengangkut mebel—harus berjibaku melewati jalan ini. “Saya terjebak di sini tiga kali seminggu. Ban pecah, rantai motor putus, bahkan pernah terperosok ke lubang,” ujar Rina (28), seorang guru SD yang harus menempuh jalan ini setiap hari.
Di sudut lain, proyek perbaikan jalan sedang berlangsung. Namun, warga banyak yang tak lagi percaya. “Tahun lalu jalan ini diaspal, tapi tiga bulan kemudian sudah retak lagi. Aspalnya tipis, kualitasnya rendah,” ujar Budi (45), seorang warga yang telah 10 tahun melintasi rute jalan yang saat ini masih rusak. Kerusakan jalan bukan sekadar masalah kenyamanan. Biaya logistik pengiriman barang, terutama mebel ke pelabuhan menjadi naik, membuat produk Jepara kalah bersaing dengan negara lain.
Di sudut lain, ratusan perahu kayu berjajar. Setiap pagi buta, banyak nelayan berlayar mencari ikan, meski hasilnya kian menipis. “Dulu, melaut beberapa mil saja dari pantai sudah dapat banyak ikan. Sekarang, harus ke tengah laut, dan hasilnya cuma separuh,” kata salah seorang nelayan sambil memperbaiki jaring yang rusak diterjang ombak.
Di Kota Jepara, sekelompok pemuda mendirikan startup marketplace mebel dengan berbagai nama dan memanfaatkan berbagai platform media digital. Namun, mereka kesulitan mengakses pendanaan. “Bank mensyaratkan agunan tanah, padahal kami cuma punya ide,” ujar salah satu co-founder startup.
Di Kantor Bupati Jepara, ruang rapat kerap menjadi saksi perdebatan sengit tentang alokasi anggaran. APBD senilai triliunan itu seperti kue yang harus dibagi untuk banyak kepentingan. Sebanyak 60% habis untuk gaji pegawai dan operasional rutin, menyisakan miliar-an untuk pembangunan—jumlah yang jauh dari cukup.
Di sisi lain, program bantuan sosial seperti BLT Desa kerap menuai kontroversi. Tahun lalu, sekian persen penerima bansos ternyata warga mampu. Akurasi data yang dimiliki pemerintah patut diragukan.
Kasus korupsi proyek infrastruktur yang pernah terjadi di Kabupaten Jepara masih membekas di ingatan warga. Jika dijumlah, sudah banyak kerugian yang dialami negara akibat kasus-kasus korupsi tersebut.
Menanti Sentuhan Pemimpin Baru
Jepara adalah kanvas yang boleh saja disebut “retak”. Di atasnya, ada goresan sejarah kejayaan mebel, warna-warni Karimunjawa, dan jejak langkah R.A. Kartini. Tapi di balik itu, ada pecahan-pecahan masalah yang menunggu direkatkan.
Bupati dan Wakil Bupati terpilih tak hanya perlu membenahi jalan atau menggenjot mebel. Mereka harus mendengar jeritan dan harapan warga lainnya, pedagang, petani, nelayan, guru, dan seterusnya.
Masyarakat Jepara tak hanya butuh janji manis. Mereka hanya ingin aspal yang tak berlubang saat hujan, kayu yang terjangkau untuk mengukir rezeki, dan laut yang tetap biru untuk anak cucu. Di tangan pemimpin baru, kanvas “retak” ini bisa menjadi mahakarya—atau tetap menjadi potret pilu yang terlupakan.
Penulis: Wahyu Khoiruz Zaman (Warga Kabupaten Jepara, Pemimpin Redaksi klikfakta.com)