Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Desa Tumpangkrasak Kudus Lakukan Mapak Suro Lewat Kirab Air 4 Punden

prosesi budaya Tetesing Suci Wiyosaning Leluhur, Tirto Suci Saking Punden pada Kamis malam, 26 Juni 2025

KlikFakta.com, KUDUS – Masyarakat Desa Tumpangkrasak, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus menggelar tradisi mapal Suro atau Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1447 Hijriah lewat prosesi budaya Tetesing Suci Wiyosaning Leluhur, Tirto Suci Saking Punden pada Kamis malam, 26 Juni 2025.

Tradisi ini digelar dengan menyatukan air dari empat punden yakni Punden Mbah Surgipati, Jayengrono, Mertoyudho (Gledheg), dan Djowero Muso di aula Balai Desa Tumpangkrasak.

Kepala Desa Tumpangkrasak Sarjoko Saputro mengungkapkan penyelenggaraan tradisi mapak suro ini dilakukan untuk mengangkat kembali budaya yang mulai terkikis dan merekatkan kerukunan masyarakat.

“Kita mengevaluasi diri, merefleksi diri, bagaimana tahun lalu yang kurang baik untuk ke depannya lebih baik,” ungkapnya.

Ritual dimulai dengan pengambilan air di empat punden desa. Setiap pubdennya diambil 7 kendi kecil air untuk kemudian disatukan dalam kendi besar dalam ritual sakral di aula balai desa.

“Satu pundennya kita ambil tujuh kendi. Tujuh kali empat berarti ada dua puluh delapan kendi air punden,” ucap Sarjoko.

Puncak dari tradisi mapak suro ini dilakukan pada Minggu (29/6/2025) lewat kirab bersama warga.

Sarjoko berujar pihaknya sengaja mengambil haei Minggu untuk melangsungkan kirab.

“Karena hari libur warga sehingga bisa mangayubagyo (ikut bersuka ria),” ucapnya.

Tetesing Suci Wiyosaning Leluhur Tirto Suci Saking Punden, katanya, merupakan cara untuk menghormati leluhur yang mbabat alas hingga terbentuk peradaban di Tumpangkrasak.

“Di samping itu, (tradisi ini) bisa mempersatukan warga di Tumpangkrasak karena kita mempunyai 4 dukuh dan alhamdulillah bisa menjadi satu,” ungkapnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus, Mutrikan mengapresiasi semangat tinggi masyarakat menguri-uri budaya.

“Karena dengan kearifan lokal yang diangkat kepala desa, seluruh tokoh desa dan masyarakat akan melahirkan sebuah tradisi budaya yang pelestariannya dijaga dimulai dari perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan yang bisa dilakukan bersama-sama,” ungkapnya.

 

Share: