KlikFakta.com, JEPARA – Ismi Ariniawati, perempuan asli Jepara merasa sesak saat mendapati perempuan tak berani bersuara. Baginya, perempuan tak seharusnya tertindas dan terpinggirkan.
“Perempuan harus punya suara. Kamu boleh berpendapat, Kamu boleh memiliki cita-cita setinggi mungkin,” ungkap Ismi.
Peringatan International Women’s Day yang jatuh setiap tanggal 8 Maret, menjadi alarm untuk mendengar suara perempuan karena pentingnya keterlibatan perempuan di semua sektor.
Merintis Kedai Isme dan Jepara Green generation
Ismi menerangkan jika perempuan memiliki peran strategis dalam berbagai sektor, tak terkecuali sektor ekonomi. Untuk itu, ia mulai merintis Kedai Isme.
Saat teman-temannya berbondong-bondong mendaftar ke perusahaan, ia yang merupakan sarjana Kesehatan Masyarakat lebih memilih untuk berwirausaha.
“Aku memutuskan punya pekerjaan yang bisa kusetir sendiri. Aku memutuskan berwirausaha,” katanya.
Meski demikian, kesuksesan tidak datang secara instan instan. Beberapa kali jatuh bangun pun ia lalui. Tak hanya itu, beberapa orang pun kerap menyepelekan dia sebagai perempuan enterpeneur.
“Aku gagal, aku bangun lagi. Aku membangun kesadaran self awareness. Aku sangat dimudahkan dalam mengambil keputusan,” jelas Ismi.
“Orang ngomong tidak akan menjatuhkan aku,” lanjutnya.
Pada 2018, Ismi juga menginisiasi adanya komunitas Jepara Green Generation yang berorientasi untuk selalu menjaga dan melindungi lingkungan di Jepara.
“Permasalahan lingkungan harus dari akarnya. Orang harus disadarkan dulu,” terang Ismi.
Ia selalu mengatakan meskipun jalan yang ia lalui terbilang susah, tapi menjaga lingkungan itu jadi hal penting.
Selain itu, alasannya menginisiasi Jepara Green Generation berdasar pada keresahannya terhadap sikap acuh tak acuh masyarakat pada sampah di lingkungan.
Ia menilai jika ketidakpedulian terhadap lingkungan atau sampah, juga menyumbang kerusakan pada alam.
Women Support Women
Permasalahan ketimpangan gender saat ini juga muncul dari perempuan sendiri. Bagi Ismi, perempuan seharusnya bisa saling mendukung satu sama lain. Ia mengatakan seringkali musuh perempuan adalah perempuan sendiri.
“Seperti perempuan belum nikah cepat dan punya anak diomong terus. Kenapa tidak disupport saja. Kita harusnya tidak saling berkompetisi tapi saling mendukung,” ujar alumni program Network Country Lead Indonesia 2021.
“Ayo kita jangan saling menjatuhkan perempuan itu sendiri. Kita harus mendukung,” sambungnya.
Perempuan jebolan Universitas Diponegoro Semarang tersebut menegaskan “women support women” harus jadi semangat para perempuan dan bukan saling berkompetisi.
Ismi menerangkan cara untuk menggapai hal tersebut adalah dengan “power empower women” di mana sebagai sosok perempuan yang sudah berdaya bisa menggandeng perempuan yang belum berdaya.
“Kita tuh berharga, kita bisa berdaya, perempuan yang sudah berdaya bisa menggandeng perempuan yang belum berdaya,” kata Ismi yang juga jadi mentor beasiswa Happines Family.
Perempuan Berdaya
Seusai menikah, Ismi mengikuti suaminya berdinas di Ende, Nusa Tenggara Timur. Meski berpindah tempat tinggal, bukan jadi alasan Ismi untuk berdiam diri melihat ketidakadilan gender yang ada.
Ia pun tergabung dalam sebuah Non Government Organization (NGO) bernama Kampus Tanpa Dinding. Di tahun ini, NGO itu fokus menjalankan program pemberdayaan perempuan untuk konservasi hutan dan lingkungan di Ende, NTT.
Project tersebut akan berjalan selama satu tahun dengan bantuan pendanaan dari Women’s Earth Alliance.
Ismi menerangkan Kampus Tanpa Dinding Berusaha untuk inklusif, dengan 70 persen pengurusnya adalah perempuan serta project leader juga seorang perempuan.
“Kita ngasih ruang untuk perempuan berkarya, terus project kita untuk perempuan, karena memang value kita ingin memberdayakan perempuan,” terang Ismi.
Kalau di NTT, lanjut Ismi kesetaraan masih sangat timpang. Saat ia mewawancarai panitia untuk project Kampus Tanpa Dinding tersebut, banyak yang bercerita jika perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik, namun ketika waktunya makan, perempuan harus menerima sisa dari makanan yang ada.
“Kalau laki-lakinya makan di tengah, perempuannya makan di dapur,” jelasnya.
Selain itu, di Ende terdapat sebuah hutan adat yang benar-benar dilindungi, namun kayu manisnya sering diambil secara terus menerus. Permasalah lainnya yakni perempuan tidak diberi akses untuk ke hutan adat tersebut.
“Karena hukum adat mereka, kamu perempuan, kamu tidak boleh ke sana, Padahal perempuan pun bisa dilibatkan,” jelas Ismi.
Karena dibatasi, Kampus Tanpa Dinding akhirnya mencetuskan untuk membuat training wanatani atau agroforestry.
Sekitar 50 perempuan diajak untuk training konservasi “hutan keluarga”. “Perempuan dilibatkan sedari awal mulai dari proses pembibitan hingga akhir. Mereka diberi akses dan pengetahuan,” terangnya.
Sistem konservasi “hutan keluarga” yakni dengan bibit yang mereka dapat akan ditanam di hutan milik sendiri dan tidak mengganggu tanaman yang ia miliki. Selain itu, ada training pascapanen agar hasil lahan bisa bagus dan produktif.
Ia berharap dengan project ini bisa jadi gerbang masuk untuk perempuan terlibat dalam permasalahan ekologis.
Meski selalu selalu di kesampingkan, perempuan harus berani bersuara dan perlu dioptimalkan. Ia berharap agar tidak ada pembatasan pada perempuan untuk berkarya.
“Dia punya energi yang luar biasa. Dia bisa menciptakan dampak yang besar ketika kita memberikan dia wadah dan ruang untuk berkarya.” tegas Ismi.
“Ayo kita saling bergandengan dan saling mensupport,” sambungnya.
Good article, dengan lebih banyak perspektif perempuan dalam penulisan, artikel-artikel senada di masa depan akan punya pesan yang lebih kuat. Nada patriarkal misalnya masih kita jumpai dalam redaksi “mengikuti suaminya”. Pilihan diksi itu mewakili alam pikiran yang terbentuk berdasarkan kehendak patriarkis dan meniscayakan ketimpangan relasi kuasa sehingga istri ada dalam posisi sebagai followers.
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.