KlikFakta.com – Mari kita sambung kisah kartini ukir Jepara yang menantikan kesejahteraan dalam bagian II ini. Bagi anda yang belum membaca bagian I, maka penulis sangat menyarankannya untuk mendukung pemahaman menyeluruh.
Pada bagian sebelumnya, penulis telah menyajikan kisah tentang dua kartini ukir. Maka sekarang penulis akan mengisahkan dua kartini ukir lain beserta pendapat seorang ahli.
Memilih penghidupan dari mengukir juga dilakukan Nur Khamidah (46), peraih juara dua dalam perlombaan ukir yang diadakan pemerintah Jepara pada tahun 2019. Ia bersama peserta 507 perempuan telah memecahkan rekor MURI.
Khamidah yang sudah mengukir semenjak usia 16 tahun belajar ukir dari kakaknya. Namun nasibnya pun tak terpaut jauh dari kedua kartini ukir sebelumnya. Khamidah belum mencicipi indahnya kesejahteraan ekonomi.
“Pendapatan sehari tidak menentu, karena kerjanya, kan, disambi (diselingi) dengan yang lain. Tapi kalau fokus kerja sehari dapat Rp 60.000-70.000. Bayaran segitu untuk kebutuhan sehari-hari ya dicukup-cukupkan. Enaknya mengukir itu kita ada perlu kemana-mana juga enak,” ujar Khamidah.
Untuk satu ukiran laci, Khamidah hanya mendapat upah senilai Rp 10.000 saja.
Khamidah memang pernah mendapat upah besar. Ia mendapat pesanan ukir satu pintu dengan upah Rp 1,5 juta. Namun pengerjaannya memakan waktu 2 minggu lantaran motif pesanan adalah kelir wayang, motif yang pengerjaannya cukup rumit.
Di antara pendapatan kurang dan kesulitan itu, Khamidah tetap berpandangan bila keahlian mengukir memiliki kegunaan yang berarti.
“Dengan punya keahlian ukir, suatu saat pasti akan berguna. Kalau di sini punya keahlian ukir akan beda dengan yang tidak punya keahlian mengukir, secara kalau dari segi ekonomi, bagi yang punya anak jadi enak bisa menyesuaikan,” kata perempuan yang juga pernah menjadi pengajar ukir pada pelatihan yang digelar Disperindag.
“Saya pengen desa saya maju dengan masyarakat ukir”
Khamidah
“Kita sudah semaksimal mungkin untuk terus memajukan ukir. Jika tidak ada pandemi biasanya ada pelatihan ukir di setiap acara 17 agustusan, sedekah bumi, dan acara lain. Kegiatan tersebut agar masyarakat punya kesadaran untuk pelestarian ukir,” tambah Khamidah.
Berjibaku dengan ukir juga jadi keseharian Almimrohatin (39), warga Desa Nganti, Kedung, Jepara. Ia memilih mengukir motif pada kursi dengan upah harian berkisar Rp 30.000.
Almim, sapaan akrabnya, telah berkarir di dunia ukir sejak 2010 dan tetap mensyukuri berapapun pendapatannya. “Kalau membahas tidak cukupnya pendapatan, menurut saya disyukuri, kalau mengukirnya lancar bisalah buat sirkulasi keuangan.”
Ia telah mencoba berbagai pekerjaan lain, mulai dari menjahit, bekerja di pabrik karung goni, sampai garmen. Namun ia merasa kerepotan untuk menyesuaikan dengan urusan keluarga.
“Sekarang saya sudah tua, makanya saya kerja di rumah sambil urus anak,” tambah Almim.
Almim beranggapan sekarang sangat minim adanya pengukir, terutama para perempuan. Generasi muda lebih memilih kesejahteraan yang mumpuni dengan bekerja di garmen.
Suami Almim pun kadang kala membantu mengukir, meski pekerjaan utamanya adalah tukang kayu.
Ukir Jepara Berawal dari Perempuan
Akademisi dan pemerhati ukir, Sutarya menjelaskan perintis adanya ukir di Jepara adalah sosok perempuan yakni Ratu Kalinyamat yang merupakan tiga tokoh perempuan Jepara selain R.A. Kartini dan Ratu Shima.
Andil Ratu Kalinyamat terbukti dengan adanya ukiran-ukiran di dinding Masjid Mantingan Jepara.
“Jadi generasi muda terutama perempuan justru dengan ukir bisa membuat dekat dengan Ratu Kalinyamat karena ukir Jepara yang bikin Ratu Kalinyamat,” terangnya.
Dengan semangat pejuang perempuan terhadap ukir tersebut, sudah selayaknya para perempuan yang mengukir mendapat kesejahteraan.
Ia menjelaskan jika ingin berbicara mengenai ukir perempuan bisa dilihat dari level kemampuan mulai pemula, medium, atau mahir.
“Kalau dilihat dari skill yang dimiliki dengan upah yang diterima, memang belum sebanding,” ucapnya.
Sutarya mengatakan jika Upah Minimum Regional (UMR) di Jepara senilai Rp 2.272.626 itu terbilang cukup. Namun, realitasnya para pengukir di Jepara tak menikmati penghasilan yang sesuai dengan UMR.
Ia menambahkan jika pengukir dengan keterampilan medium atau mahir bisa mencapai upah Rp 80.000 hingga Rp 100.000 perhari.
Pemilik usaha Antique Furni Craft tersebut menerangkan jika banyak pengusaha yang saat ini tidak menggaji para pengukirnya dengan standar UMR, sehingga para pekerja merasa tidak sejahtera.
“Jika pengusaha mau sejahtera sendiri nanti akan menindas para pengukir, salah satunya pengukir perempuan,” katanya.
“Ketika ini terjadi jangan berharap high quality (kualitas tinggi), jika mengeluarkan low cost (biaya rendah) untuk mencapai kualitas tinggi. Jika ingin mendapat high quality (kualitas tinggi), ya perlu high cost (biaya tinggi). Ini sebanding,” sambung dosen jurusan Desain produk Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara.
Sutarya menegaskan perlu adanya gerakan moral untuk mensejahterakan para pengukir, karena kesejahteraan bukan hanya milik pelaku usaha saja, tetapi untuk para pekerja.
Ia mengatakan bahwa pemerintah perlu menekankan para pelaku usaha ukir mengenai regulasi UMR.
“Pemerintah harusnya terus meng-push (mendorong) para pelaku usaha ukir perihal regulasi UMR yang harus diterima oleh para pengukir. Literasi mengenai UMR itu perlu disosialisasikan kepada para pengusaha, bukan ke pengrajinnya,” jelasnya.
Sutarya berpesan bahwa ukir bukan hanya menjadi ladang usaha tetapi sebagai pelestarian budaya.
“Jadi yang namanya ukir Jepara itu sudah gerakan tentang seni bukan hanya tentang ukir saja yang diaplikasikan di media ukir, kita perlu pelestarian ukir,” tandas Sutarya.
Tangan para kartini ukir akan terus memahat keindahan di kayu. Mereka bertahan dengan keyakinan ukir meskipun kesejahteraan tak sebanding dengan keindahan hasil tangan mereka.
Sampai kapan ini akan berlanjut?
Seperti kata Sutarya, sudah seharusnya pemerintah membawa kesejahteraan para pengukir sebagai salah satu isu sehingga regulasi UMR nya mampu terwujud.
Penulis: Nur Ithrotul Fadhilah
Editor: Melina