Pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pilar pembentukan karakter bangsa. Tidak hanya berfungsi sebagai sarana transfer ilmu agama, pendidikan Islam juga berperan membentuk etika sosial, moral, dan cara pandang umat dalam hidup berdampingan. Di Kabupaten Kudus, yang dikenal sebagai “Kota Santri” dan salah satu pusat dakwah Walisongo, pendidikan Islam memiliki ruang strategis dalam menjaga harmoni masyarakat multikultural. Tantangan hari ini bukan hanya menjaga tradisi itu tetap hidup, tetapi juga memastikan pendidikan Islam relevan dengan konteks keberagaman modern tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.
Kabupaten Kudus memiliki keunikan berupa keberagaman masyarakat yang hidup berdampingan selama berabad-abad. Sejarahnya mencatat bagaimana Sunan Kudus mengajarkan dakwah penuh kearifan, termasuk dalam menghargai tradisi dan keyakinan masyarakat. Nilai toleransi inilah yang seharusnya terus ditanamkan melalui lembaga pendidikan Islam, baik di madrasah, pesantren, maupun sekolah umum berbasis keagamaan. Namun, dinamika era digital, masuknya paham-paham keagamaan dari luar, serta polarisasi sosial politik sering kali memengaruhi cara pandang generasi muda. Di sinilah pentingnya pendidikan Islam berwawasan damai dan ramah budaya.
Salah satu aspek mendesak adalah memperkuat kompetensi guru Pendidikan Agama Islam. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga teladan dan penjaga nalar kritis siswa. Guru PAI di Kudus perlu dibekali pendekatan pembelajaran moderat, kemampuan literasi digital, dan pengetahuan tentang keberagaman sosial. Dengan demikian, mereka dapat menyaring informasi, menangkal paham intoleran, dan membimbing siswa memahami Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Para guru juga harus mampu mengaitkan ajaran Islam dengan realitas keseharian, sehingga nilai toleransi tidak berhenti sebagai teori, melainkan menjadi budaya hidup.
Lembaga pendidikan Islam di Kudus juga dapat berperan sebagai ruang dialog kebudayaan. Banyak sekolah dan pesantren yang memiliki hubungan baik dengan masyarakat lintas agama; tinggal bagaimana ruang-ruang perjumpaan itu diperluas. Kegiatan seperti diskusi lintas iman, bakti sosial bersama, atau kolaborasi seni dan budaya dapat memperkuat rasa saling percaya. Saat peserta didik terbiasa bertemu, berinteraksi, dan berkolaborasi dengan mereka yang berbeda, nilai perdamaian tumbuh secara natural tanpa dipaksakan.
Lebih jauh, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tinggi, termasuk UIN Sunan Kudus, perlu berkolaborasi dalam merancang kurikulum pendidikan Islam yang kontekstual. Kurikulum tidak hanya harus menampilkan teks-teks klasik, tetapi juga analisis kritis terhadap isu kontemporer—mulai dari toleransi, radikalisme, keberlanjutan lingkungan, hingga etika digital. Dengan demikian, pendidikan Islam di Kudus tidak tertinggal dari perkembangan zaman, tetapi menjadi garda terdepan dalam mencetak generasi berakhlak dan cerdas sosial.
Pada akhirnya, membangun budaya damai di Kabupaten Kudus tidak dapat dilepaskan dari dunia pendidikan. Pendidikan Islam yang inklusif, moderat, dan humanis merupakan fondasi penting untuk menjaga kerukunan. Kudus telah menjadi simbol toleransi sejak masa Walisongo, dan generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk merawat warisan tersebut. Melalui kolaborasi guru, sekolah, pesantren, kampus, dan pemerintah, kita dapat memastikan bahwa semangat damai tidak hanya menjadi cerita sejarah, tetapi menjadi nafas kehidupan masyarakat Kudus hari ini dan di masa depan.
Penulis: Ashif Az Zafi (Dosen PAI UIN Sunan Kudus)







