Prestasi membanggakan kembali diraih Kabupaten Blora setelah dinobatkan sebagai peringkat pertama daerah paling aktif berpartisipasi dan berkontribusi dalam pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah pada ajang Anugerah Cinta Pendidikan Agama Islam 2025. Penghargaan ini diberikan karena dinilai berhasil mendorong program-program penguatan pendidikan agama, khususnya dalam program Sekolah Sambi Ngaji (SSN) yang menjadi andalan Bupati Blora, Arief Rohman.
Di tengah dinamika zaman yang semakin kompleks, capaian ini semestinya menjadi bukti bahwa Blora memiliki perhatian serius terhadap pendidikan berbasis nilai dan spiritual. Namun, menurut hemat saya, penghargaan ini tidak seharusnya menjadi ajang berbangga diri secara berlebihan. Justru, pencapaian tersebut harus dibarengi kesadaran bahwa persoalan akhlak di lapangan masih sangat nyata dan memerlukan penanganan serius.
Realita Akhlak siswa yang Merosot di Sekolah
Di banyak sekolah, masih mudah ditemukan perilaku negatif yang mengkhawatirkan. Fenomena bullying, saling mengejek, penggunaan kata-kata kasar, hingga sikap tidak menghormati guru dan orang tua menjadi persoalan yang terus berulang. Bahkan ketika diberi nasihat atau sanksi, sebagian peserta didik tetap mengulangi perilaku tersebut.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan merosotnya akhlak di kalangan pelajar: Pengaruh Media Sosial, Akses tak terbatas ke media sosial sering mengubah pola interaksi anak. Banyak peserta didik semakin individualistis, mementingkan eksistensi digital, dan kehilangan kepekaan sosial. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berinteraksi dengan teman sebaya justru tersedot pada layar gawai. Ketika nilai akhlak tidak tertanam dengan kuat, media sosial malah memperbesar potensi penyimpangan perilaku.
Arus Budaya dan Lingkungan Sosial, Lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak secara konsisten memberikan teladan positif membuat peserta didik rentan terhadap nilai-nilai budaya global yang menekankan kesenangan pribadi. Tanpa kolaborasi kuat antara sekolah dan keluarga, nilai moral sulit tertanam secara mendalam.
Tantangan Peradaban Modern, Peradaban modern menawarkan banyak hal instan: hiburan, konten, bahkan bentuk pergaulan yang sering kali berjarak dari nilai religius. Tidak heran bila muncul kecenderungan kurangnya rasa hormat, rendahnya adab komunikasi, serta meningkatnya kekerasan verbal maupun fisik di sekolah.
Prestasi adalah Modal, Bukan Garansi
Penghargaan Anugerah PAI 2025 seharusnya dimaknai sebagai modal awal untuk memperkuat pendidikan akhlak di Wilayah Kabupaten Blora, bukan sebagai garansi bahwa kondisi moral peserta didik sudah baik.
Capaian tersebut harus menjadi dorongan untuk, Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Karakter di Sekolah. Guru dan tenaga kependidikan, serta seluruh warga sekolah harus menjadi teladan nyata. Pendidikan karakter tidak cukup berhenti pada teori, tapi perlu hidup dalam rutinitas sekolah: cara menyapa, menghormati, menyelesaikan konflik, hingga cara menggunakan media digital.
Menumbuhkan Kepedulian dan Empati. Peserta didik perlu dibiasakan peka terhadap lingkungan sosialnya, tidak hanya peduli pada kebersihan sekolah, tetapi juga peduli terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. Ini inti dari akhlak sosial.
Memanfaatkan Teknologi Secara Bijak, Pemanfaatan media digital harus diarahkan untuk memperkuat pembelajaran PAI, bukan sebaliknya. Guru perlu kreatif mengemas materi akhlak agar relevan dengan kehidupan digital peserta didik.
Blora pantas diapresiasi atas prestasinya di tingkat nasional. Namun, jika penghargaan ini hanya menjadi simbol tanpa aksi nyata, kita akan kehilangan momentum besar untuk memperbaiki kualitas akhlak generasi muda. Sebagai masyarakat, kita harus terus mengawal agar prestasi ini benar-benar berbanding lurus dengan kondisi moral peserta didik di lapangan. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan agama tidak diukur dari piala, tetapi dari lahirnya generasi yang beriman, beradab, dan bermoral luhur.
Penulis: Partono (Dosen UIN Sunan Kudus)







