KlikFakta.com – Fadli Zon, menteri kebudayaan, bawahan Presiden Prabowo Subianto memantik kecaman dan keprihatinan publik terkait pernyataannya yang mempertanyakan kebenaran peristiwa perkosaan massal pada tahun 1998.
Pernyataan kontroversial dan niir simpati ini dilontarkannya dalam wawancara “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis soal Revisi Buku Sejarah” yang diunggah di kanal Youtube IDN Times pada 10 Juni 2025.
“Ada perkosaan massal. Betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di buku sejarah itu? Nggak pernah ada,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menilai rumor sepert ini “menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan”.
Pernyataan Fadli Zon yang mengingkari tragedi 1998 ini tak ayal menjadi kontroversi. Terlebih jabatannya yang seharusnya merepresentasikan rakyat.
Banyak pihak mengecam ucapan Fadli Zon. Salah satunya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid.
Sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia, ia menyebut pernyataan Fadli tersebut merupakan bentuk penyangkalan ganda demi menghindar dari kesalahan.
“Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya. Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tapi kebenarannya diragukan karena tidak ada otoritas yang mengetahui kebenarannya,” kata Usman dalam konferensi pers Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6).
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Menteri Budaya sebagai bentuk manipulasi sejarah.
“Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998,” ujar koalisi dikutip dari laman KontraS, Minggu (15/6).
Sementara dilansir dari Konde.co, Aliansi Perempuan Indonesia (API) dalam konferensi pers pada Sabtu (14/6/2025) menyuarakan kemarahan dan keresahan atas kata ‘rumor’ yang diucapkan Fadli Zon saat merujuk pada perkosaan massal Mei 1998.
Diyah Wara Restiyati dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia menyebut pernyataan Fadli Zon telah melukai hati orang Tionghoa.
“Ketika Bapak Fadli Zon mengatakan bahwa peristiwa Mei 1998 itu—perkosaan atau kekerasan terhadap perempuan Tionghoa itu tidak terjadi—itu sangat melukai hati kami. Masyarakat Tionghoa, terutama perempuan-perempuan Tionghoa,” tutur Diyah, “Karena saya tahu betul bahwa itu terjadi.”
Pada akhirnya setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak, Fadli Zon lewat akun X pribadinya mengutarakan pernyataan pada Senin (16/6/2025).
Ia menyatakan peristiwa 1998 menimbulkan silang pendapat dan berbagai perspektif.
Namun demikian ia tetap menyangkal terjadi perkosaan massal. Ia menyebut tidak ada bukti nyata tentang kejahatan seksual ini.
“Bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal “massal” ini.”
Menurutnya, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid.
“Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri,” sebutnya.
Sementara dilansir dari ANTARA, Fadli Zon di sela peresmian Bali Indah Cultural Park di Strzelinko, Kota Slupsk, Polandia, Senin (16/6/2025) tidak menyangkal adanya perkosaan. Namun ia mempermasalahkan kata “massal”.
“Saya yakin terjadi kekerasan perundungan seksual terhadap perempuan, bahkan tidak hanya dulu sampai sekarang masih terjadi. Tapi, istilah massal itu mungkin yang memerlukan pendalaman, bukti yang lebih akurat, data yang lebih solid karena ini menyangkut nama baik bangsa kita,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani turut mengomentari pernyataan Fadli Zon.
Lalu menilai pernyataan Fadli Zon yang menyebut bahwa peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 tak punya bukti kuat, adalah keliru.
Dia pun mengingatkan Fadli Zon untuk tidak menutup-nutupi peristiwa tersebut, apalagi menghapusnya lewat proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang digarap.
“Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” ujar Lalu Hadrian dalam keterangan resminya, Selasa (17/6/2025). Melansir dari Kompas.com.
Lalu mengingatkan bahwa tragedi kerusuhan 1998 adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Kejadian ini telah mengakibatkan luka mendalam bagi masyarakat, khusus bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Oleh karena itu, lanjut Lalu, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk terang-terangan penghapusan jejak sejarah Indonesia.
“Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan,” kata Lalu.
Ia menilai, menutupi sejarah ini sama dengan merendahkan martabat para korban.