Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Mbah Sukamah, Satu-satunya Maestro Payung Tradisi di Jepara

Mbah Sukamah, satu-satunya pelestari payung tradisi atau payung kertas di Jepara (KlikFakta/Nur Ithrotul Fadhilah)

KlikFakta.com, JEPARA – Sukamah atau yang akrab disapa Mbah Sukamah dengan tangan rentanya masih bersemangat melestarikan payung tradisi atau payung kertas di Jepara.

Menjadi satu-satunya pelestari payung tradisi yang ada di Jepara. Tak heran, Mbah Sukamah pernah mendapat penghargaan dari Anugerah Payung Indonesia sebagai “Sang Maestro Payung Tradisi” pada 2018 lalu.

Ditemui di kediamannya, Mbah Sukamah tampak masih bugar. Aktivitasnya kini hanya menemani anak dan menantunya di rumahnya yang berada di Desa Brantak Sekarjati, Kecamatan Welahan, Jepara.

Sesekali, ia masih menerima jasa pembuatan payung tradisi jika ada pesanan. Sukamah mengakui saat ini peminat payung tradisi semakin jarang.

“Memang sudah tidak ada yang lain, di Jepara cuma saya yang masih buat,” ujar Sukamah.

Wanita berusia 65 tahun itu menjelaskan, bahwa dulu Desa Brantak Sekarjati merupakan desa penghasil kerajinan payung tradisi. Lambat laun, para perajin mulai berkurang, hingga meninggal dunia.

Kini, tinggal Sukamah dan anaknya, Rokhman yang masih melestarikan payung tradisi atau yang biasa disebut payung kertas. Mereka berdua masih menekuni kerajinan itu sebagai sampingan.

Sukamah menjelaskan, proses pembuatan payung tradisi memang sulit, sehingga tak banyak orang yang bersedia menekuninya. Selain pembuatannya yang tak mudah, bahan baku dan harga jual terkadang tak seimbang.

Sukamah menggunakan bambu sebagai rangka dan kertas semen bekas sebagai penutup payungnya. Ia menceritakan, usai rangka dibentuk dan dirangkai, dibentuklah pola dan pewarnaan untuk mempercantik payung tradisi.

“Ini kalau anak muda yang buat tidak bisa, karena prosesnya sulit, waktunya juga lama,” terang Sukamah dalam bahasa Jawa.

Pembuatan payung tradisi ini, kata dia, memerlukan waktu satu minggu hingga 10 hari. Payung kertas itu ia buat dengan ukuran kecil 30 cm dan sedang 50 cm.

Kadang-kadang Sukamah juga masih menerima pesanan pembuatan payung untuk tradisi kematian. Payung kertas yang dipesan, kata Sukamah, biasanya digunakan untuk pertunjukkan tertentu, tari payung, pameran, atau pajangan di rumah.

Untuk harganya, Sukamah menjual dengan harga Rp 50 ribu sampai Rp 600 ribu per payung. Hal itu tergantung kesepakatan pemesan dan pembuat.

Sukamah membuat payung kertas dibantu dengan anaknya, Rokhman yang kesehariannya membuka jasa bengkel sepeda.

“Kalau ada pesanan ya buat, kalau tidak ya hanya di rumah,” akunya.

Sudah berpuluh tahun menjadi pelestari payung tradisi, Sukamah mengaku mendapat banyak pengalaman. Ia bercerita bahwa dulunya sering diundang menghadiri acara festival payung seperti di Borobudur, Magelang dan Solo.

“Dulu sering diajak ke Solo, Magelang, saya buat payung di sana, dilihat banyak orang, sampai dapat piagam ini,” ucap Sukamah menunjuk piagam penghargaan yang dipajang di ruang tamunya.

Ia berharap masih ada orang yang berminat memesan payung kertas tradisional itu. Sehingga seni membuat payung tradisi tetap dilestarikan dan tidak punah.

“Sulitnya tidak ada orang yang mau membuat, beruntung anak saya mau meneruskan, karena ini tidak bisa menjadi pekerjaan utama,” pungkasnya.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *