Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Investigasi KPK: Skandal Kredit Fiktif Rp263,6 Miliar di BPR Jepara Artha, Rakyat Kecil Jadi Kedok

KlikFakta.com, JEPARA – Nama mereka mungkin tak asing di telinga: pedagang warung, tukang bangunan, buruh harian, hingga pengemudi ojek online. Tapi siapa sangka, dalam catatan resmi PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jepara Artha (Perseroda), mereka tercatat sebagai debitur dengan pinjaman miliaran rupiah.

Kenyataan itu terungkap dalam penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari balik data dan dokumen, terbuka modus besar: 40 kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar yang dijalankan secara sistematis oleh manajemen bank bersama pihak swasta.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan, modus bermula dari perekrutan orang-orang sederhana untuk dipinjam namanya.

“Para tersangka meminjam nama masyarakat kecil dengan imbalan tertentu, lalu menyiapkan dokumen palsu mulai dari rekening koran, izin usaha, hingga foto kegiatan usaha. Semuanya direkayasa agar seolah-olah layak mendapatkan kredit besar,” jelas Budi saat konferensi pers di Jakarta, kamis (18/9).

Menurut penyidik, setiap debitur fiktif menerima “fee” sekitar Rp100 juta. Sementara dokumen perizinan dan laporan keuangan dibuat dengan data palsu. Bahkan, agunan tanah yang diajukan sebagai jaminan dinaikkan nilainya hingga 10 kali lipat oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Dari luar, pencairan kredit tampak melalui mekanisme resmi: ada persetujuan komite kredit, penilaian risiko, hingga penandatanganan akad. Namun di baliknya, semua itu hanyalah formalitas.

“Proses persetujuan kredit hanya formalitas. Bahkan, pencairan dilakukan sebelum agunan selesai diikat. Dana hasil pencairan kemudian dialirkan ke pihak swasta dan digunakan untuk menutup kredit macet serta membeli aset pribadi,” ungkap Budi.

Selama lebih dari setahun, pola ini berulang hingga akhirnya tercatat 40 debitur fiktif dengan plafon total Rp263,6 miliar.

Penyidik menemukan aliran dana yang terstruktur. Sebagian digunakan manajemen BPR untuk menutup kredit bermasalah agar laporan keuangan bank tidak runtuh. Sebagian besar lainnya mengalir ke pihak swasta untuk pembelian tanah, pembayaran cicilan, hingga transaksi semu yang dipoles sebagai usaha perdagangan beras.

Tak berhenti di situ, dana juga mengalir ke kantong pribadi pejabat BPR Jepara Artha:

  • Direktur Utama diduga menerima Rp2,6 miliar, ditambah pembelian mobil Honda Civic Turbo.
  • Direktur Bisnis Rp793 juta.
  • Kepala Divisi Bisnis Rp637 juta.
  • Kepala Bagian Kredit Rp282 juta.
  • Fasilitas perjalanan umrah Rp300 juta untuk jajaran direksi.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung kerugian negara akibat skema ini mencapai Rp254 miliar. Sebagai langkah pemulihan, KPK telah menyita 136 bidang tanah dan bangunan, sejumlah kendaraan mewah, serta uang tunai milik para tersangka.

“Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa BPR, sebagai bank milik daerah, seharusnya berfungsi membantu perekonomian rakyat. Namun justru diperalat untuk kepentingan pribadi. Kami akan memastikan aset negara yang hilang bisa dipulihkan,” tegas Budi

Selain kerugian finansial, kasus ini memukul kepercayaan masyarakat Jepara. BPR yang semestinya menjadi penopang usaha kecil justru memperalat nama rakyat sebagai kedok korupsi.

Bagi warga kecil yang namanya dipinjam, imbalan Rp100 juta tidak sebanding dengan stigma dan potensi risiko hukum yang bisa mereka tanggung. Bagi nasabah riil, skandal ini menutup peluang mereka mengakses pembiayaan karena reputasi bank tercoreng.

KPK telah menahan lima tersangka: Direktur Utama, Direktur Bisnis, Kepala Divisi Bisnis, Kepala Bagian Kredit BPR Jepara Artha, serta Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang.

Mereka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya berat, maksimal seumur hidup.

Kasus BPR Jepara Artha menjadi cermin rapuhnya tata kelola BUMD di Indonesia. Lemahnya kontrol internal dan eksternal memungkinkan praktik korupsi terstruktur berjalan lebih dari setahun.

“Kami berharap perkara ini menjadi momentum perbaikan. Jangan sampai lembaga yang seharusnya menopang ekonomi rakyat justru menjadi sarana memperkaya diri,” kata Budi menutup keterangannya.

Skandal BPR Jepara Artha bukan sekadar cerita tentang uang Rp263,6 miliar yang hilang. Lebih dari itu, ia menggambarkan bagaimana sistem pengawasan yang longgar dan integritas yang rapuh bisa meruntuhkan lembaga keuangan daerah.

Dan yang paling ironis: rakyat kecil, yang seharusnya dilayani bank daerah, justru dijadikan kedok dalam sebuah korupsi berjamaah.

Aris susanto

Share: