KlikFakta.com – Polemik dalam Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan zat adiktif seperti narkotika terus bergulir.
Banyak pihak khawatir kebijakan itu akan berdampak buruk bagi perekonomian sektor tembakau hingga rokok.
Sementara Komunitas Perokok Bijak menganggap rancangan kebijakan itu berlebihan. Pasalnya pemerintah sudah mengakui legalitas tembakau dengan menerbitkan berbagai aturan yang mengatur peredarannya.
Dari segi hukum, bila aturan tersebut terbit, maka kekhawatiran muncul sampai pada para petani. Tanaman yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka bisa jadi alasan mereka berhadapan dengan hukum.
Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) K Mudi menyampaikan dari sisi petani mengenai Pasal 154 dan Pasal 155 RUU itu.
“Dalam pasal itu, tembakau termasuk zat adiktif dan psikotropika, ini menjadi keberatan kami. Sebagai petani tembakau berarti pembudidaya tanaman ilegal,” katanya, Sabtu (10/6).
Ia meyakini perumusan rancangan itu tidak melalui pengkajian secara mendalam dan tidak memperhatikan kepentingan berbagai pihak, khususnya IHT (Industri Hasil Tembakau).
Soal polemik tembakau di RUU Kesehatan ini, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU juga menentangnya.
Pihaknya memberikan rekomendasi terkait tembakau dan zat adiktif. Yakni menghapus klausul tentang hasil tembakau termasuk dalam kategori zat adiktif. “Kami menilai (pasal tersebut, Red) berpotensi menimbulkan multitafsir,” kata Ketua LBM PBNU Kh Mahbub Ma’afi Ramadlan, Minggu (11/6).
Pasal itu bisa ditafsirkan jika tembakau berbahaya seperti narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol yang jelas diharamkan. “Sementara olahan tembakau dihukumi mubah (boleh, Red)”.
Lalu, menganggap tembakau setara dengan narkotika berarti sama dengan menjadikan para petani tembakau dan IHT sebagai kriminal. Seperti halnya penanam ganja, pemakai, dan pengedar narkoba.
LBM PBNU mendorong agar pemerintah memberi kesempatan publik untuk berpartisipasi dalam pembahasan RUU Kesehatan.
”Mengingat ada jutaan rakyat yang terlibat IHT. Partisipasi publik juga diharapkan memunculkan prespektif yang lebih komprehensif, dari sisi sosiologis, agama, maupun yuridis,” katanya.
Sumber: SindoNews, Jawa Pos