Ozi Setiadi, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik*
|
Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang terlahir sejak abad ke-5 SM memberikan peluang bagi siapa saja untuk menjadi seorang pemimpin. Rakyat dengan berbagai latar belakang apapun dapat menjadi pemimpin. Seorang tukang becak, mahasiswi, bisa duduk sebagai anggota DPRD. Pengusaha apalagi, bahkan mantan koruptor, pun bisa menjadi seorang pemimpin. Begitulah dalam era demokrasi, segala sesuatu menjadi mungkin. Hal yang menarik bukanlah status sosial mereka, namun faktor apa yang menyebabkan mereka terpilih menjadi pemimpin.
Faktor utama yang sudah banyak diketahui hallayak ramai adalah uang. Uang menjadi modal penting dalam setiap kontestasi. Akan tetapi, uang bukanlah segalanya. Bagi masyarakat yang sudah mulai matang berdemokrasi, uang tak lagi menarik, meski juga dibutuhkan. Pengakuan seorang komisioner Bawaslu menyebut pada pemilu 2019 ditemukan seorang calon anggota DPRD tingkat II telah menghabiskan dana sekitar 2 milyar untuk bisa duduk sebagai anggota legislatif. Malangnya, ia tak terpilih. Ini berarti uang bukan menjadi faktor utama bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.
Kedua, jaringan (networking). Faktor ini tak kalah penting dalam setiap kontestasi politik. Seorang yang ingin menjadi pemimpin dalam era demokrasi saat ini, perlu memiliki jaringan yang kuat yang mampu mendukungnya untuk memenangkan kontestasi. Oleh karenanya, suksesi kepemimpinan selalu didukung kuat oleh jaringan yang ada. Jaringan pengusaha sebagai penyokong dana, akademisi sebagai konsultan, yang lebih penting dan menarik bagi pemilih berbasis agama adalah ulama. Ulama menjadi unsur yang urgen sebagai “alat” legitimasi politik dalam masyarakat yang beragama Islam di Indonesia.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim ini cukup “patuh” terhadap agama, lebih lagi masyarakat dengan kultur Jawa. Meski Clifford Geertz membagi umat Muslim Jawa menjadi tiga, yakni priyai, santri, dan abangan, budaya kepatuhan masyarat terhadap agama tidak berkurang. Sosok priyai (kiai) menjadi panutan yang diikuti oleh orang-orang di bawahnya. Ia memiliki otoritas tertinggi dalam hal apapun dalam agama. Akan tetapi, otoritas ini ternyata tidak hanya dipergunakan dalam hal agama semata, tetapi juga sebagai alat legitimasi politik.
Pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Kudus peran pemegang otoritas agama sangat signifikan. Daerah yang dicitrakan sebagai kota santri ini menjadi tempat perhelatan pesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Tercatat sebanyak lima pasang calon kepala daerah dengan berbagai latar belakang, seperti pengusaha, praktisi, hingga mantan terpidana korupsi, terlibat dalam kontestasi lima tahunan itu. Tiga diusung oleh partai politik, dan dua dari jalur independen. Masing-masing calon diusung dan didukung oleh partai politik atau kelompok berbasis Islam atau nasionalis religius.
Hal yang menarik dalam kontestasi yang berlangsung pada tahun 2018 ketika itu adalah terpilihnya M. Tamzil sebagai Bupati Kudus. Selain berstatus sebagai mantan terpidana korupsi, ia juga diusung oleh dua partai politik yang memiliki basis massa yang besar di Kudus, yakni PPP dan PKB. Dua partai politik ini memiliki konstituen Muslim yang tidak sedikit di kota santri. Pertanyaan yang kemudian muncul mengapa Tamzil dapat terpilih? Faktor kuat yang mendorong keterpilihannya adalah jaringan, dalam hal ini ulama. Tamzil yang diusung oleh dua partai politik Islam diyakini memiliki jaringan ulama yang tidak sedikit di kota santri. Mengutip dutaIslam.com terdapat 86 pesantren ada di Kudus. Ini diluar lembaga-lembaga diniyah dan lembaga pendidikan agama nonformal lain. Artinya, dengan jumlah lembaga pendidikan sebanyak itu, peran kiai atau ulama dalam kontestasi politik sangat besar. Mereka memberikan sumbangsih sugesti bagi para santri dan abangan untuk turut memilih bupati sesuai dengan arahannya.
Kahrisma ulama yang sangat berpengaruh dalam kultur masyarakat Jawa memberikan nilai tersendiri. Kiai atau ulama dianggap sebagai pewaris dakwah para nabi. Mereka memiliki pemahaman tidak hanya dalam hal agama, tetapi juga politik. Sama seperti nabi, ulama dianggap memiliki pemahaman yang komprehensif sebagaimana nabi memiliki pemahaman tentang agama dan negara. Oleh karenanya, ulama yang terlibat dalam kontestasi politik di Kudus memiliki peran yang besar dalam menyebarkan pengaruh politik, khususnya bagi keterpilihan kepala daerah.
Merujuk kembali pendapat Geertz bahwa priyai menduduki posisi tertinggi dalam hal otoritas keagamaan. Ini menyebabkan golongan yang ada dibawahnya memiliki kecenderungan untuk mengikuti priyai. “ikut apa kata kiai”, begitulah setidaknya gambaran politik masyarakat abangan. Mereka menyandarkan lebih dari separuh kepercayaan pilihan politiknya pada ulama dalam hal ini kiai. Begitu pula dengan para santri. Mereka akan mengikuti pula instruksi dari kiainya. “Ngarep berkah”, istilah inilah yang tidak dapat lepas dari para santri. Ketika mereka tidak mematuhi kiai-kiainya, maka keberkahan ilmu yang mereka dapatkan selama belajar tidak akan menyertainya. Hal demikian inilah yang mendorong kuat keterpilihan kepala daerah. Puncak “piramida agama” berada di tangan kiai. Dan ini berdampak pada plihan politik masyarakat.
Penetapan Bupati Kudus sebagai tersangka oleh KPK sejatinya menjadi kabar buruk bagi masyarakat Kudus, utamanya bagi kalangan ulama dan santri. Sebab merekalah yang diyakini selama ini turut berkontribusi dalam memberikan pengaruh bagi keterpilihan Tamzil. Tertangkapnya Tamzil dalam OTT KPK pada Jumat, 26/7/2019, secara tidak langsung mendelegitimasi pilihan politik kalangan ulama dan santri ketika itu. Sebab secara tidak langsung, kiai bertanggung jawab moral atas keterpilihan kepala daerah. Kepala daerah yang terpilih adalah representasi pilihan mereka. Ketika ia baik dalam menjalankan pemerintahan, maka citra positif akan melekat pada kiai yang mendukungnya. Tapi, bila roda pemerintahan yang dijalankan karam dan kandas di tengah jalan akibat kasus korupsi dan lainya, maka bisa sebaliknya. Sehingga kasus korupsi Bupati Kudus semestinya menjadi warning bagi kalangan ulama agar tidak terlalu vulgar dalam memberikan dukungan kepada para politisi.
*Penulis: Ozi Setiadi, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Pusat Studi Komunikasi dan Politik (Puskopol) Kudus.