Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Media Cyber dan Teror Kebenaran

Oleh: Wahyu Khoiruzzaman

Pengguna internet terus mengalami peningkatan, bahkan lebih dari separo penduduk Indonesia diyakini sudah menjadi pengguna aktif internet. Banyaknya masyarakat yang aktif sebagai pengguna internet ini menjadi pangsa pasar yang empuk bagi sebagian kalangan untuk menyebarkan informasi apapun, termasuk informasi yang tidak jelas, provokatif hingga kabar bohong alias hoax.

Belakangan ini, sejumlah informasi yang tidak jelas jeluntrungnya bergentayangan di jagat maya. Misalnya isu tentang konflik Timur Tengah, ajakan untuk menarik uang dari ATM untuk mengguncang perekonomian, sentimen anti-Tiongkok berupa dramatisasi kedatangan dan keberadaan tenaga kerja hingga persoalan konflik yang mengatasnamakan agama.

Pihak tertentu ada yang menduga penyebaran isu tak jelas dilakukan sebagai motif untuk memantik konflik horizontal, hingga upaya merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keberadaannya cukup membuat repot pemerintah. Sampai-sampai Presiden RI Joko Widodo memerintahkan penegak hukum agar lebih tegas dan keras terhadap para penyebar kabar hoax. Jokowi mengeluarkan maklumatnya itu dalam rapat di Istana Presiden, Jakarta, baru-baru ini.

Selain Presiden, Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi ormas Islam terbesar di tanah air juga ikut kerepotan untuk membendung derasnya informasi yang provokatif dan hoax. Banser yang notabene sebagai pasukan serbaguna milik NU juga dikabarkan membentuk pasukan cyber. Tidak hanya itu, gerakan anti hoax juga dilakukan sejumlah komunitas, seperti di Solo, Surabaya, Semarang, Wonosobo, dan Bandung. Mereka mengkampanyekan masyarakat anti hoax dengan label kickout hoax, dan turn back hoax.

Barangkali, informasi hoax masih cenderung mudah untuk diketahui kebohongannya sehingga dapat dihindari oleh masyarakat karena kebohongan dan kebenaran itu jelas bedanya. Namun informasi provokatiflah –bersifat menghasut- yang cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat luas, karena membedakan dan menyaring informasi provokatif dibutuhkan kemampuan dan kecerdasan dari publik.

Informasi provokatif belum tentu hoax, karena provokasi bisa dibuat melalui informasi yang benar. Ya, kebenaran mampu dijadikan bahan untuk melakukan provokasi olah pihak-pihak tertentu, dan informasi yang demikian merupakan informasi provokatif. Yang paling mengkhawatirkan, kebenaran yang digunakan sebagai upaya provokasi adalah agama.

Informasi provokatif yang semakin banyak -bergentayangan di media- menjadi sesuatu yang justru menakutkan bagi publik sebagai penerima informasi. Kebenaran yang diinformasikan dalam bentuk provokasi menjadi teror bagi publik, hingga akhirnya memicu ketegangan hingga konflik. Kondisi ini jelas kontradiktif dari idealisme media, apalagi agama –sebagai kebenaran yang sering dijadikan alat provokasi- tidak ada yang mendukung upaya yang memicu konflik karena semua agama mengajarkan perdamaian.

Sebut saja “Islam” sebagai agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduk bangsa ini, sekaligus sebagai agama yang tidak jarang dijadikan alat untuk melakukan provokasi. Mengutip pendapat Sulastomo, budaya perdamaian dikalangan masyarakat Islam sebenarnya memiliki landasan yang kuat karena ada di dalam ayat al-Qur’an dan al-Hadist (Sulastomo, 2004: 127).

Dibutuhkan kecerdasan dan kesadaran yang luar biasa bagi publik tentang pentingnya perdamaian, memahami bahwa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki banyak sekali perbedaan antara satu dengan lainnya, agar tidak mudah terprovokasi, terutama saat memanfaatkan media cyber, terutama media sosial. Pasalnya, media sosial seperti pada umumnya media, memiliki fungsi mampu mempengaruhi (Effendy, 1990:149-150), sehingga mampu membentuk pendapat dan pola pikir masyarakat atau publik sebagai komunikan dalam proses komunikasi.

Setelah mengetahui informasi provokatif, masyarakat tidak boleh turut andil menyebarkan informasi tersebut. Disini juga dibutuhkan kecerdasan dan kesadaran bahwa informasi provokatif cukup membahayakan. Apalagi informasi hoax, dalam konsep Fikih Jurnalisme, menyebarkan kebohongan adalah dosa. Sekian !

*Secuil catatan dari olah nalar Peace and Diffusion of Islam (Pionis) Institute, pada 8 Januari 2017 di Jepara, Jawa Tengah. 

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *